Pandemi covid-19 selama lebih dari 2 tahun telah menjadi lahan perburuan rente dan tindak pidana korupsi yang sangat masif.

Kalau kita menilik sejarah medis dan kesehatan publik, ternyata bukan kali ini saja dunia dan khususnya Indonesia menghadapi pandemi, bahkan pandemi yang disebabkan oleh virus sekalipun. Meskipun dampaknya tidak sedahsyat covid-19, tercatat manusia bumi pernah dilanda pandemi MERS, SARS, flu babi, dan ebola serta pandemi influenza pada tahun 1918 di Hindia Belanda. Meskipun terjadi sebelum era Indonesia modern, namun tak ada salahnya belajar dari sejarah penanganan pandemi di masa lalu.

Banyak kalangan juga telah mengingatkan kepada para pemegang otoritas termasuk pemerintah untuk selalu siaga ketika pandemi datang. Namun selalu saja kita tergagap, terkesan terlambat dan selalu gagal mengantisipasi pandemi itu.

Satu hal yang seharusnya bisa diantisipasi –karena hal itu sudah menjadi rutinitas— adalah soal mekanisme dan proses pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah dalam menghadapi pandemi itu. Kemudian juga bagaimana pemerintah mengelola jaring pengaman sosial, sebagai dampak dari terjadinya pandemi.

Pandemi dan pengadaan barang jasa pemerintah

Pengadaan barang dan jasa terkait pandemi, yang merupakan kebutuhan barang yang terkait langsung sebenarnya sudah bisa diprediksikan jauh sebelum pandemi meledak. Yang pasti dibutuhkan adalah obat-obatan, alat kesehatan dan alat pelindung diri bagi tenaga medis.

beban korupsiNamun yang terjadi saat pandemi covid-19 saat ini pengadaan ketiga barang tersebut terlihat berantakan. Spesifikasi barang yang masih harus dicari-cari dan disesuaikan dengan kebutuhan. Kemudian kapasitas ketersediannya dan produksinya yang jauh di bawah kebutuhan (langka), kualitas barangnya yang masih jauh dari yang dipersyaratkan, serta harganya yang mahal, bahkan ada yang dimarkup.

Perdebatan yang terjadi dalam pengadaan barang dan jasa adalah selalu soal kegentingan dan kedaruratan. Dengan dalih seperti ini maka pengadaan barang dan jasa selalu diarahkan ke penunjukan langsung serta dihindarkan dari tuntutan proses tender secara terbuka. Pandemi covid-19 adalah termasuk bencana non alam, sehingga ada yang menganggapnya pengadaan barang dan jasa yang terkait penanggulangannya pun ada aspek kedaruratan atau kegentingan.

Kondisi ini seringkali memicu munculnya potensi pelonggaran aturan pengadaan barang dan jasa dan pada giliran berikutnya adalah munculnya potensi penyimpangan dan perburuan rente. Penyimpangan dimulai dengan pengabaian prosedur pengadaan barang dan jasa, seperti prosedur bidding, standar harga, ataupun prosedur pengadaan lainnya. Kemudian meluas sampai pada perekrutan orang yang tidak tepat, karena tidak mampu melaksanakan protokol perawatan yang kompleks, serta pemberian gaji dan tunjangan kepada petugas kesehatan yang tidak sesuai dengan ketentuan.

Hasrat mencari keuntungan juga melebar hingga ke wilayah jaring pengaman sosialnya. Penyimpangan bisa terkait dengan pendataan kelompok terdampak yang dilakukan secara serampangan, penerima bantuan salah sasaran, penggelapan dana bantuan, memanipulasi jumlah bantuan, kemudian melakukan pungutan liar yang dilakukan oleh oknum pembagi bantuan, serta dobel pembiayaan pada APBN/APBD/APBDesa untuk penganggaran penanggulangan pandemi.

Mencuatnya kasus konflik kepentingan dalam proyek kartu pra kerja dan pendataan kebutuhan alat pelindung diri di daerah yang menyeret dua staf khusus presiden, seakan mengkonfirmasi bahwa bencana pandemi ini dijadikan momentum untuk berburu rente.

Berburu rente dan tindak pidana korupsi

Perburuan rente, meski tidak ada pelanggaran hukum yang berujung pidana, namun praktik-praktik seperti ini sangat tidak layak terjadi. Sungguh miris, di tengah bencana dan penderitaan rakyat akibat deraan pandemi, perburuan rente tetap dilakukan berbarengan saat upaya-upaya penegakan hukum (korupsi) juga dilemahkan.

Di manapun di dunia ini, korupsi (perburuan rente yang berujung pidana) akan mempengaruhi lima dimensi kinerja sistem pelayanan publik termasuk kesehatan, yaitu keadilan, kualitas, daya tanggap, efisiensi, dan ketahanan. Bila terjadi pengambilan keuntungan yang tak sah seperti itu, maka sudah pasti akan menimbulkan ketidakadilan, kemudian barang hasil dari proses pengadaannya akan berkualitas rendah, kemudian daya tanggap pihak yang terakit seperti kementerian/ dinas kesehatan atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjadi rendah, muncul inefisiensi, dan ketahanan bangsa dalam menghadapi pandemi akan lemah.

Konsep dasar penanganan pandemi covid-19 adalah melandaikan kurva pertumbuhan jumlah pasien terjangkit virus. Diperlukan pengambilan kebijakan yang tepat dalam pengadaan barang dan jasa untuk penanggulangan pandemi tersebut. Kebijakan yang salah dan tidak tepat akan memperbesar potensi penyimpangan dan upaya penanggulangan pandemi tidak maksimal, bahkan bisa gagal.

Perburuan rente dan bencana

Kedaruratan dalam bencana yang kemudian dijadikan alasan untuk mempercepat ketersediaan barang memang harus dipertimbangkan. Namun melonggarkan aturan pengadaan barang dan jasa untuk penanggulangan bencana juga bukan pilihan yang tepat.

Pelonggaran aturan mekanisme pengadaan barang dan jasa justru akan meningkatkan potensi munculnya perburuan rente. Perburuan rente sekali lagi akan merugikan upaya-upaya penanggulangan bencana, menurunkan kepercayaan publik, dan melukai rasa keadilan masyarakat.

Selain itu harus ada perbaikan aturan terkait pelaksanaan jaring pengaman sosial akibat terjadinya pandemi. Karena dua wilayah inilah tempat yang paling empuk menjadi sasaran kaum pemburu rente di masa bencana pandemi seperti sekarang ini.

Semoga pagebluk Covid-19 ini benar-benar segera berlalu, dan Indonesia bisa mendapatkan pelajaran yang berharga dalam mengelola penanggulangan pandemi serta membebaskanya dari jeratan pemburu rente.