Bisnis rumahan menggeliat saat pandemi. Namun pemerintah seakan abai dengan hal ini, karena peta jalan bisnis rumahan belum dibuat.

Tulisan Viriya Singgih di projectmultatulli.org tentang kehidupan para pekerja kurir itu membukakan mata kita bahwa kesejahteraan sebagian besar warga kita saat ini tidak dalam kondisi yang baik-baik saja.

Keberadaan perusahaan-perusahaan besar yang diklaim bisa mendongkrak perekonomian pekerja kelas bawah itu hanya sekedar cukup membuat warga bisa bertahan hidup saja. Sebagai pekerja, pendapatan mereka jauh dari harapan. Mereka tak bisa menyisihkan dari sebagian pendapatannya untuk menabung.

Pun sektor usaha yang diklaim sebagai yang paling bisa bertahan di kala pandemi ternyata tak terlalu menjanjikan bagi masyarakat kelas bawah ini. Jika sebelumnya diperkirakan bisnis ekspedisi dan kuliner menjadi dua jenis pekerjaan dan mata pencaharian yang tetap bisa menguntungkan dari deraan pandemi. Namun klaim itu hanya berlaku bagi perusahaan penyelenggaranya saja. Bagi kaum pekerjanya, seperti pengantar barang tetap saja tidak banyak memetik keuntungan.

Ketika pemerintah saat ini sedang mencoba membangkitkan perekonomian, jutaan pekerja ini seperti duri dalam daging. Mereka ini menjadi kelompok yang menjadi prioritas utama dan komponen terbesar dari gerbong yang harus ditarik.

Janji Palsu

Masalah penyelamatan kelompok pekerja informal ini juga tidak terjangkau oleh janji-janji manis undang-undang cipta kerja. Klaim-klaim bahwa uu ciptaker akan memberi jaminan kerja bagi sebagian besar warga usia produktif luput dari perhatiannya.

Setahun lebih pandemi melanda. Upaya-upaya bangkit terus dipacu. Baik yang dilakukan individu-individu warga maupun program-program pemulihan ekonomi yang dibuat pemerintah. Sebagiannya adalah bantuan untuk UMKM. Sejak bulan Mei 2020 sudah beberapa tahap bantuan untuk UMKM dicairkan.

Sayangnya, UMKM bukanlah usaha bisnis milik kaum pekerja. Melainkan usaha bisnis milik mereka yang memiliki sedikit modal, sedikit pengetahuan dan sedikit keahlian wirausaha. Jumlahnya cukup banyak meskipun proporsi jumlahnya juga tidak sebanding dengan warga yang memiliki problem ekonomi tersebut. Sebagian dari UMKM ini juga ada yang mampu merekrut tenaga kerja. Namun juga tak terlalu banyak mengurangi pengangguran. Apalagi mengurangi pengangguran produk pandemi yang jumlahnya lebih membengkak.

Kurang lebih satu dekade sebelum pandemi melanda dunia The Popcorn Report mengamati adanya sebuah kecenderungan manusia untuk mengurangi keberadaan mereka di luar rumah. Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, manusia mulai mengalihkan aktivitasnya ke rumah.

Termasuk aktivitas bisnis, di mana menurut Sunny Baker dan Kim Baker banyak miliarder di AS banyak yang berhasil meraih kekayaan dengan memulai usaha sendiri dari kamar tidur atau garasi.

Bisnis rumahaan di saat pandemi

bisnis rumahanDi saat pandemi dan pemberlakuan pembatasan fisik, kegiatan ekonomi masyarakat kemudian menerima dampaknya. Banyak perusahaan besar ambruk. Perdagangan retail tutup, bahkan banyak UMKM pun juga gulung tikar. Sebagian UMKM masih bisa bertahan, dan ini yang kemudian juga diklaim seperti saat krisis ekonomi tahun 1998 bahwa lebih baik pemerintah memperhatikan UMKM daripada perusahaan besar, karena UMKM yang justru bisa menopang perekonomian nasional saat krisis.

Di kala UMKM juga tidak cukup menolong kelompok masyarakat bawah, kemudian bisnis rumahan justru menemukan momentumnya. Pandemi Covid-19 telah melahirkan kembali fenomena ekonomi dari rumah. Perubahan perilaku konsumen ini kemudian membuka peluang sekaligus menuntut pelaku usaha beradaptasi.

Situasi pandemi telah menggeser sebagian aktivitas ekonomi ke tempat tinggal masyarakat. Pembatasan gerak dam tuntutan menjaga jarak fisik membentuk kebiasaan baru yang mendorong lahirnya ”ekonomi dari rumah”. Di sisi lain kemunculan fenomena ini dianggap menjadi satu terobosan mengungkit pemulihan ekonomi nasional.

Persoalannya sekarang adalah apakah para pengambil kebijakan sudah melirik fenomena ini. Kemudian menyusun peta kebijakan yang komprehensif untuk memanfaatkanya sebagai mesin pendongkrak pemulihan ekonomi. Tidak seharusnya pemerintah kemudian menyerahkannya kepada kehendak pasar , dan kemudian berpotensi memunculkan ketimpangan ekonomi kembali. Negara harus hadir mengambil peran pembelaan terhadap kelompok kelas bawah.

Peran pemerintah

Kementerian UMKM pernah menyebut stay at home economy merupakan kesempatan yang baik bagi pelaku UMKM untuk tumbuh. Namun, kementerian belum membuat kebijakan yang mengatur khusus bisnis rumahan ini. Prosesnya dikembalikan lagi ke pasar agar para pelaku bisnis rumahan untuk beradaptasi dan berinovasi sendiri untuk memenuhi kebutuhan pasar.

Para pelaku bisnis rumahan yang hanya dilakukan sendirian dan tanpa karyawan ini tidak semua masuk dalam kategori UMKM. Tetapi mereka jumlahnya banyak dan sedang menggeliat. Mereka kemudian terpaksa berafiliasi dengan perusahaan market place besar, yang kemudian juga menggerakkan pekerja kurir yang tak cukup beruntung itu. Sebuah lingkaran ketimpangan yang berulang. Inilah persoalan di mana peta kebijakannya seharusnya segera dipikirkan. Ayo kita mulai sekarang…