Tugas pemberantasan tindak pidana korupsi sejatinya memang bukan tugas presiden semata. Berdasarkan undang-undang, tugas itu juga didelegasikan kepada rejim pemberantasan korupsi yaitu kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Namun terkait kebijakan, ada tanggungjawab presiden sebagai kepala negara terkait dengan pemberantasan korupsi. Kebijakan antikorupsi yang menjadi representasi tanggungjawab presiden setidaknya tertuang di dalam Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PK). Di dalam RAN PK ini yang terkait dengan kebijakan presiden ini setidaknya adalah mendorong perbaikan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, implementasi teknologi dalam sistem penganggaran dan reformasi birokrasi. Sayangnya Jokowi juga sangat lambat meneken Perpres No. 54 tahun 2018 ini. Karena Perpres Stranas PK sebelumnya diterbitkan tahun 2012, di era Presiden SBY.

Di luar hal tersebut, ada juga kewenangan dan kebijakan yang melekat kepada presiden terkait dengan pemberantasan korupsi, misalnya pemilihan jaksa agung, pemilihan panitia seleksi pimpinan KPK, pemilihan kepala kepolisian, pemilihan panitia seleksi Komisi Informasi dan panitia seleksi komisioner Ombudsman Republik Indonesia. Institusi ini pada akhirnya banyak bersinggungan dengan upaya pemberantasan korupsi. Kebijakan dalam bidang ini juga akan menjadi cerminan apakah presiden pro terhadap pemberantasan korupsi atau tidak.

Jokowi yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin saat ini merupakan presiden terpilih dalam pemilu presiden 2019. Jokowi akan melanjutkan kebijakannya sebagai kepala negara dalam periode kedua. Menilik ke periode pertama pemerintahan Jokowi, kinerjanya kurang bagus di bidang penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

Begitu dilantik menjadi presiden tahun 2014, kemudian Jokowi memilih Jaksa agung dari kalangan partai politik pendukungnya. Hujan kritik dari publik dan pegiat antikorupsi langsung diterima Jokowi. Karena posisi Jaksa Agung yang dari parpol dianggap mengakomodir kepentingan partai politik asal Jaksa Agung tersebut.

Belum usai keributan soal jaksa agung, kemudian disusul keributan saat pemilihan kapolri. Karena Jokowi mengusulkan calon kapolri yang kemudian sempat menjadi tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi. Panitia Seleksi Pimpinan KPK yang dibentuk presiden setelah itu pun juga tak lepas dari kritik, karena hasilnya juga memunculkan calon pimpinan KPK yang banyak catatan negatifnya.

Beberapa kebijakan yang diambil Jokowi di periode pertama tersebut seakan terus menjadi memori negatif publik atas kinerja Jokowi terutama dalam bidang pemberantasan korupsi. Seperti yang dikatakan Hakim Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra (2016), bahwa dalam dua tahun pertama pemerintahan Jokowi-JK, hukum terabaikan.

Kini memulai periode kedua pemerintahannya, tidak ada perbaikan signifikan dalam bidang hukum. Janji untuk memilih jaksa agung bukan dari kalangan partai politik masih sebatas janji, karena hingga saat ini belum juga dipastikan siapa jaksa agung pilihannya.

Rasanya pemerintahan Jokowi saat ini, hingga lima tahun kedepan sangat berat bebannya dalam pemberantasan korupsi. Seperti mengulang di periode pertama. Belum usai kegamangan publik atas pilihan jaksa agung, kini publik kembali disuguhi kebijakan Jokowi yang kurang mendukung semangat pemberantasan korupsi. Kritik publik terhadap pemilihan panitia seleksi pimpinan KPK yang tidak direspons Jokowi, berbuah hasil yang bermasalah juga.

Saat ini calon pimpinan KPK yang merupakan hasil seleksi oleh panitia seleksi dan diserahkan ke presiden terdapat nama-nama yang bermasalah dalam integritasnya. Lagi-lagi Jokowi tidak menanggapi kritik dari publik. Karena Jokowi tetap menerima nama-nama calon pimpinan KPK hasil seleksi tersebut dan menyerahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara utuh tanpa koreksi. Padahal suara publik berharap Jokowi mencoret nama-nama calon yang bermasalah.

Ketika nama-nama tersebut dilempar ke DPR, maka tentu saja bolanya semakin liar karena di DPR makin banyak kepentingan politik untuk memilih lima diantara nama-nama tersebut sesuai dengan kepentingan politik yang sangat banyak.

Revisi UU KPK
Sama halnya dengan periode pertama pemerintahan Jokowi, revisi Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK juga pernah meributkan publik. Saat itu DPR hendak melakukan revisi UU KPK. Saat itu pemerintah juga hampir menyetujui revisi UU KPK ini. Untungnya desakan publik saat itu berhasil menghentikan upaya ini. Meskipun Menkumham tanpa koordinasi presiden hampir menyerahkan persetujuannya ke DPR.

Kini memasuki periode kedua pemerintahan Jokowi publik kembali diributkan oleh ulah DPR yang tiba-tiba akan melakukan revisi UU KPK tersebut. Lagi-lagi bola panas kembali ke presiden. Publik berharap presiden tidak menyetujui inisiatif DPR yang hendak merevisi UU KPK ini. Begitu presiden menyetujui, maka UU KPK sudah dipastikan direvisi oleh DPR. Kekhawatiran publik tentu beralasan karena revisi UU KPK sudah kasat mata akan melemahkan kerja-kerja KPK dalam rangka memberantas tindak pidana korupsi.

Kerisauan publik atas kebijakan Jokowi dalam pemberantasan korupsi memang sangat beralasan. Mengingat KPK saat ini menjadi tumpuan harapan publik, khususnya dalam menyelesaikan masalah korupsi di Indonesia. Sehingga jika kebijakan Jokowi salah langkah, maka akibatnya akan menjadi serius di belakang hari. Kepentingan rakyat dan bangsa yang akan menjadi taruhannya.

Dalam beberapa kesempatan, Jokowi mengatakan bahwa dia tidak memiliki beban lagi dalam periode kepemimpinan yang kedua ini. Ia akan berbuat sebaik-baiknya untuk rakyat dan negara, tanpa dibebani oleh kepentingan politik yang mendukungnya. Namun sepertinya janji tersebut kini kembali dipertanyakan. Beberapa kali Jokowi seperti memberikan harapan palsu.

Harapan publik terlanjur sirna, dan pemenuhan janji Jokowi sebagai presiden terpilih pada akhirnya juga tidak akan mempengaruhinya, karena sudah dipastikan Jokowi tidak akan mengikuti kontestasi lagi di masa yang akan datang. Kekecewaan publik pun bahkan tidak bisa diganti oleh janji pilihan jaksa agung yang baik dan berintegritas non parpol sekalipun.

Sehingga demi etika politik yang bermartabat, tentu akan lebih afdol kalau Jokowi tetap mendengar aspirasi publik terutama harapan masyarakat untuk mempriorotaskan membangun bidang hukum di periode kedua pemerintahannya. Kenegarawanan Jokowi disini sangat diharapkan muncul. Sehingga benar-benar terlihat bahwa beban pemberantasan korupsi oleh pemerintahan Jokowi-Ma’ruf ini tidaklah terlalu berat, seperti yang dipersepsikan publik selama ini.