Fenomena pengusaha terjun ke dunia politik, dari level lokal hingga nasional, membawa janji perubahan, efisiensi, dan inovasi. Di balik janji ini, pertanyaan mendasar muncul: Mungkinkah pengusaha di politik memperkuat demokrasi Indonesia, atau justru menjerumuskan kita ke cengkeraman oligarki?

Sejarah menunjukkan hubungan erat kekuatan ekonomi dan politik, di mana kedekatan pengusaha dan pemerintah di era Orde Baru melahirkan struktur kekuasaan yang mengabaikan rakyat. Reformasi 1998 membuka perubahan besar, namun hubungan erat bisnis dan politik masih melekat. Masuknya pengusaha ke politik pasca-reformasi menunjukkan pengaruh ekonomi masih menentukan arah kebijakan publik.

Kekhawatiran muncul bahwa sistem oligarki, di mana kekuasaan politik dan ekonomi terpusat pada segelintir orang, akan menguat dengan masuknya pengusaha ke politik. Konsentrasi kekuasaan ini dikhawatirkan mengikis prinsip demokrasi. Contohnya, di Amerika Serikat, munculnya baron industri seperti John D. Rockefeller dan Andrew Carnegie di akhir abad 19-awal abad 20 menciptakan kekuatan ekonomi besar yang mampu memengaruhi kebijakan politik, memicu gerakan progresif untuk membatasi kekuasaan korporasi dan mengembalikan keseimbangan kekuasaan kepada rakyat.

Pengusaha-politisi memiliki agenda yang dapat menguntungkan bisnis mereka. Di posisi kekuasaan, mereka dapat memengaruhi kebijakan publik untuk keuntungan sektor industri tertentu, bahkan bisnis mereka sendiri, seperti regulasi yang menguntungkan, pengurangan pajak, dan perlindungan terhadap persaingan. Kepentingan rakyat banyak terabaikan. Contohnya, di negara berkembang, perusahaan besar memiliki pengaruh besar terhadap pemerintah, di mana kebijakan yang seharusnya fokus pada kesejahteraan rakyat, seperti akses pendidikan dan kesehatan, sering dikorbankan demi keuntungan jangka pendek pengusaha besar. Hal ini memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi, serta mengurangi kesempatan bagi rakyat miskin untuk meningkatkan taraf hidup mereka.

Pengaruh uang dalam politik juga menjadi kekhawatiran. Pengusaha memiliki sumber daya finansial besar untuk mendukung kampanye politik mereka sendiri atau politisi lain yang sejalan dengan kepentingan mereka. Uang ini sering digunakan untuk melobi kebijakan yang menguntungkan mereka. Jangka panjang, hal ini memperkuat struktur oligarki, di mana keputusan politik dipengaruhi oleh uang, bukan kepentingan rakyat banyak. Contohnya, di banyak negara, pembiayaan kampanye yang tidak transparan menjadi masalah serius. Uang dari pengusaha besar mengalir deras ke kantong politisi, menciptakan hubungan timbal balik yang tidak sehat. Politisi yang berhutang budi kepada penyumbang kampanye besar cenderung membuat keputusan yang menguntungkan para penyumbang tersebut, bukan masyarakat luas. Ini mengakibatkan erosi kepercayaan publik terhadap sistem politik dan demokrasi.

Jaringan kekuasaan yang kuat juga dapat terbentuk dengan masuknya pengusaha ke politik. Jaringan ini mencakup pejabat pemerintah, pembuat kebijakan, dan pemimpin industri lainnya. Kekuatan jaringan ini dapat digunakan untuk mempertahankan dan memperkuat posisi mereka dalam struktur kekuasaan. Jaringan kekuasaan yang kuat ini dapat menciptakan ‘lingkaran setan’ di mana hanya mereka yang berada dalam lingkaran tersebut yang mendapatkan kesempatan dan keuntungan. Hal ini tidak hanya mempersempit ruang bagi orang-orang baru untuk berpartisipasi dalam politik, tetapi juga memperkuat status quo yang sering kali tidak adil. Contohnya, di negara dengan sistem patronase kuat, pengusaha-politisi sering menggunakan kekuasaan mereka untuk memberi keuntungan kepada anggota jaringan mereka, mengorbankan kepentingan umum.

Pengusaha-politisi juga sering memanfaatkan posisi politik mereka untuk mengakses sumber daya negara, seperti kontrak pemerintah, konsesi sumber daya alam, dan proyek infrastruktur. Ketika sumber daya ini dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi, masyarakat umum yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama dari sumber daya negara ini, sering kali terabaikan. Contohnya, di banyak negara kaya sumber daya alam, fenomena ini dikenal sebagai “kutukan sumber daya” di mana alih-alih membawa kemakmuran, kekayaan sumber daya alam justru menyebabkan ketidakadilan, korupsi, dan konflik. Pengusaha-politisi menggunakan kekuasaan mereka untuk mengamankan konsesi tambang atau kontrak minyak, sering kali mengabaikan dampak lingkungan dan sosial yang merugikan masyarakat setempat.

Masuknya pengusaha ke dunia politik membawa risiko besar terhadap demokrasi. Kita harus waspada terhadap konsentrasi kekuasaan yang dapat memperkuat struktur oligarki. Demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat dan kebijakan publik yang mengutamakan kepentingan umum. Kita perlu memastikan bahwa pengusaha yang masuk ke dunia politik tetap berkomitmen pada prinsip-prinsip demokrasi dan tidak menggunakan kekuasaan politik mereka untuk memperkaya diri sendiri dan memperkuat kekuasaan oligarki.

Dengan langkah-langkah seperti meningkatkan transparansi, akuntabilitas, aturan anti-monopoli, dan kesadaran publik, kita dapat meminimalisir risiko demokrasi terjerumus ke dalam cengkeraman oligarki dan memastikan bahwa pengusaha yang masuk ke dunia politik benar-benar membawa manfaat bagi rakyat dan negara. Hanya dengan demikian, kita dapat membangun masa depan yang adil, sejahtera, dan demokratis bagi semua. Bagaimana menurut Anda?