Lelaki berusia 54 tahun itu melipat ujung bawah celana panjang yang baru saja dipotongnya. Ia perhatikan ulang lipatan celana tersebut, apakah sudah rata atau belum. Setelah yakin lipatannya rata dan rapi, ia masukkannya di antara feed dogs dan pressure foot mesin jahit.

Sejenak kemudian kakinya menekan pedal mesin jahit. Tangan kanan menarik celana dan tangan kiri mendorongnya. Sekitar lima menit setelahnya, bagian bawah celana yang terpotong tadi sudah rapi. kelincahan tangan dan kaki lelaki itu telah mengubah sebuah celana panjang menjadi celana pendek, seperti permintaan dari pelanggan.

Itulah kegiatan sehari-hari Pak Yanto, pemiliki kios jahit di sudut Jalan Pahlawan, Citeureup, Bogor. Setiap hari, pelanggan hilir mudik datang ke kiosnya. Ada yang memotong celana, mengecilkan daster, menjahit gorden, dan pekerjaan lainnya yang berhubungan dengan jahit-menjahit.

Kios berukuran 2 meter X 3 meter tersebut adalah sandaran hidup bagi Pak Yanto dan keluarganya. Setiap hari, pelanggan hilir mudik ke kiosnya. Ia bersyukur, usaha jahitnya ini sudah cukup ramai dan bisa menopang kehidupan keluarganya. Padahal, dia sempat sangsi saat awal-awal memulai usaha ini.

Bermula dari keterbatasan

“Saat memulai usaha ini, sekitar 3-4 bulan pertama tidak ada pelanggan yang datang ke kios. Pertama, saya memang baru buka. Kedua, di depan kan sudah ada tukang jahit yang cukup terkenal. Dia sudah buka 20 tahun,” kata Yanto sembari menunjuk kios tukang jahit di seberang jalan.

Yanto memulai usaha kios jahit tidak dalam kondisi ideal. Ia membuka usaha ini saat pandemi menyerbu. Sebelum membuka usaha ini, dia bekerja sebagai tukang jahit pada usaha konveksi di daerah Cakung, Jakarta Timur.

Mau baca cerita inspiratif  lainnya? Klik link ini

Saat pandemi merangsek di awal tahun 2020, pesanan konveksi di tempatnya bekerja mulai berkurang. Yanto pun kemudian mulai berpikir, bila kondisi tersebut terus berlangsung, periuk di dapurnya terancam kosong.

Setelah menimbang beberapa waktu, dia pun memutuskan untuk berhenti dari tempatnya bekerja dan mulai membuka usaha sendiri. Setelah kios jahit dibuka, Yanto menyadari ternyata tak mudah menjalankan usaha sendiri. Saat berstatus karyawan, dia tinggal mengerjakan order yang tersedia dan akan mendapatkan gaji di akhir bulan. Saat membuka usaha jahit sendiri, dia bergantung dari order pelanggan.

Antara semangat dan sikap pantang menyerah

Meski sepi dan tak mudah saat memulai usaha, tapi Yanto tidak menyerah. Baginya, tak ada opsi untuk kembali menjadi karyawan. Jarak tempuh rumah ke tempatnya kerja lebih dari 40 kilometer. Pulang pergi sudah lebih dari 80 kilometer. Belum lagi waktu tempuh sekali jalan bisa sampai dua jam. Terlalu berat untuk dijalani oleh dirinya yang berumur lebih dari 50 tahun.

Dia lalu memutar otak, bagaimana agar ada pemasukan rutin untuk usahanya. Yanto lalu menghubungi beberapa kenalannya di Jakarta dan menanyakan apakah ada pekerjaan untuknya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Salah satu kenalan di Tanah Abang memberikan order kepadanya.

Selama empat bulan pertama, usahanya ditopang oleh order konveksi dari kenalannya di Tanah Abang. Setelah jalan empat bulan, pelanggan perorangan pun mulai berdatangan. Dari sedikit, lama-lama pelanggan perorangannya terus bertambah.

Setelah pelanggan perorangan bertambah, ia mulai mengurangi pekerjaan dari  konveksi di Jakarta. Sebab, untuk pekerjaan di Jakarta tarifnya memang terbilang rendah. Sedangkan pelanggan perorangan tarifnya lebih tinggi.

Kini, usaha Yanto sudah stabil. Untuk uang bulanan keluarga dan sewa kios sudah bisa ditutupi dari pemasukan pelanggan yang datang. Baginya, usaha yang dijalani sekarang ini adalah berkah. Ia tak perlu lagi menempuh perjalanan puluhan kilometer setiap hari untuk mencari rezeki. Kini, pelanggan yang menghampiri.

Dari Pak Yanto kita bisa belajar, selama masih berusaha, pasti ada jalan. Meskipun jalan itu terkadang terjal dan tak selalu mulus, bila kita teguh, pasti akan bisa melaluinya.

 

Foto: IG @marhaenist