Di lini masa media sosial, berbagai keluhan dari warga terkait polusi udara Jakarta terus mengemuka. Banyak keluhan terkait gangguan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Ada yang mengeluhkan sakit tenggorokan, ada juga yang menceritakan anaknya mengalami batuk pilek. Polusi udara di Jakarta dan sekitarnya yang memburuk diperkirakan jadi penyebab munculnya keluhan ISPA.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno bahkan menyatakan Presiden Jokowi menderita batuk hampir empat minggu. Menurut dokter yang memeriksa, salah satu penyebab batuk Presiden Jokowi disebabkan oleh polusi udara di Jakarta dan sekitarnya.

Kualitas udara di Jakarta kembali memburuk pada Agustus 2023. Berdasarkan data dari iqair.com, air quality index (AQI) di Jakarta pada hari Rabu, 16 Agustus 2023, berada di angka 158. Angka tersebut meningkat dibanding dua hari sebelumnya yaitu 156 (15 Agustus) dan 154 (14 Agustus). AQI di atas angka 150, dikategorikan sebagai tidak sehat. Bahkan skor 100-150 termasuk berbahaya bagi kelompok sensitif seperti anak-anak dan manula.

 

Masalah dan solusi polusi udara di Jakarta

Buruknya kualitas udara di Jakarta disebabkan oleh tiga hal utama. Pertama, polusi dari asap kendaraan bermotor. Kedua, polusi dari PLTU yang menggunakan bahan bakar batu bara. Ketiga, polusi yang disebabkan oleh emisi di kawasan industri yang tersebar di banyak titik di daerah Jabodetabek.

Hal ini tentu harus menjadi  perhatian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan juga Pemerintah Pusat. Harus ada solusi nyata yang diberlakukan secara permanen, tidak hanya diterapkan sesaat. Tentu saja solusi untuk mengatasi polusi ini tidak dengan memindahkan ibu kota. Solusinya adalah menghilangkan atau menyelesaikan penyebab polusi di Jabodetabek.

Terkait dengan pengurangan emisi kendaraan bermotor, salah satu caranya adalah dengan meningkatkan moda transportasi umum dan memberikan insentif kepada para penumpang transportasi umum dengan subsidi. Skema ini sudah dijalankan dengan sangat baik dengan adanya JakLingko di masa Gubernur Anies Baswedan.

Sayangnya, Pj. Heru Budi sepertinya tidak terlalu antusias untuk melanjutkan dan memperbaiki program ini. Bahkan, sempat ada isu kenaikan tarif Mikrotrans dan TransJakarta yang di Jakarta. Kenaikan tarif, jelas akan menurunkan minat pengguna transportasi publik. Bila kebijakan ini benar diterapkan, sangat mungkin orang yang sudah menggunakan transportasi umum akan kembali menggunakan kendaraan pribadi. Hal ini tentu harus jadi perhatian.

Kedua terkait dengan PLTU yang disinyalir jadi penyebab utama polusi udara, harus ada langkah nyata untuk menguransi emisi pembakaran batu bara. Perusahaan Listrik Negara sendiri sudah berkomitmen untuk menurunkan emisi PLTU. Salah satunya dengan melakukan co-firing, yaitu mencampur batu bara dengan biomassa. Cara ini dipercaya bisa mengurangi emisi dan polusi.

Biomassa adalah bahan bakar pengganti batu baru terbarukan. Bahan bakunya bisa bermacam-macam, mulai dari cacahan kayu, sekam, hingga sampah. Permasalahannya, seberapa mampu PLN dan anak perusahaan menjalankan skema ini dalam waktu dekat secara berkelanjutan. Sebab, untuk penyediaan biomassa harus dilakukan dalam volume besar secara berkelanjutan.

Ketiga, terkait dengan polusi dari kawasan industri, pemerintah perlu mendorong untuk adopsi energi terbarukan secara lebih masif. Salah satunya dengan instalasi solar panel sebagai sumber energi. Bila dilakukan dalam jumlah besar, cara ini bisa mengurangi polusi di kawasan industri.

Komitmen pemerintah pada perubahan iklim

Permasalahan polusi udara di Jabodetabek harus menjadi prioritas dan perlu komitmen dari pemerintah baik pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota. Komitmen tersebut harus ditunjukkan dengan kebijakan yang menunjukkan bahwa polusi dan perubahan iklim adalah masalah serius dan ada di depan mata.

Bila pemerintah masih mengeluarkan kebijakan main-main, termasuk memberikan pernyataan yang tidak serius, hal ini bisa menjadi preseden buruk penanganan polusi di ibu kota dan sekitarnya.

Kita semua masih ingat tentu dengan pernyataan Pj. Heru Budi yang menyatakan kalau ada polusi tinggal ditiup saja. Mungkin pernyataan ini hanya sebuah candaan. Tapi sesunguhnya, menunjukkan pejabat publik tersebut dalam melihat dan menyikapi permasalahan polusi, perubahan iklim, dan lingkungan. Bila komitmen pejabat publik tidak kuat, rasanya kita tidak bisa terlalu berharap penyelesaian masalah polusi udara dan masalah lingkungan lainnya bisa dituntaskan.

Mau baca artikel terkait lingkungan lainnya? Cek di sini