Reformasi politik dipercaya menjadi salah satu kunci perbaikan sendi-sendi tata kelola kenegaraan dan upaya pemberantasan korupsi.
Ungkapan “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut) muncul pada abad ke-19 lalu. Pernyataan Lord Acton, yang guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris itu kini seolah sudah jadi adagium umum masyarakat Indonesia.
Hakikat adagium tersebut kira-kira adalah bahwa korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan “pintu masuk” bagi tindak korupsi. Oleh karena tidak mau mengamini pernyataan itulah, maka sistem kekuasaan Indonesia kini dibuat sedemikian rupa sehingga kekuasaan tidak terkesan absolut dan “kekal”. Kekuasaan dibuat “berganti” setiap lima tahun sekali.
Pemilu 2024 momentum reformasi politik
Tahun 2024 tak pelak merupakan momentum untuk menghindari tuduhan Lord Acton itu. Tahun ini kekuasaan pemerintahan berganti. Tubuh legislatif pun juga diupayakan berganti. Dalam sejarah modern Indonesia, pembuktian korupsi tidak pernah berhasil masuk ke pusat kekuasaan. Namun demikian bila kita tengok lima tahun periode terakhir musim pergantian kekuasaan itu korupsi cukup bisa dibuktikan sampai di lingkaran kekuasaan.
Bila partai politik, anggota partai politik dan anggota DPR kita anggap sebagai lingkaran kekuasaan maka, dalam waktu sepuluh tahun terakhir cukup membuktikan bahkan kekuasaan itu cenderung korup. Cukup banyak anggota partai politik yang sedang berkuasa dan penyokong partai berkuasa terjerat kasus korupsi. Misalnya kasus korupsi Wisma Atlet, Kasus korupsi Hambalang, kasus suap kuota daging impor, kasus suap Al Qur’an, kasus e-ktp, kasus korupsi bakamla, kasus korupsi proyek PLTU Riau 1, kasus suap impor bawang putih, dan lain sebagainya. Dari kasus-kasus yang terungkap tersebut hampir semua adalah terkait dengan partai yang berkuasa atau penyokongnya.
Pemilu sebagai momentum pergantian kekuasaan adalah bagian dari reformasi politik. Hakikat reformasi adalah penataan ulang. Penataan struktur politik yang selama lima tahun ini dianggap dan terbukti korup dan menyokong terhadap munculnya korupsi perlu ditata ulang.
Reformasi politik dan sistem pemilu
Perburuan rente di Indonesia tak akan jauh-jauh dari bagaimana sistem politik bisa diakali, bisa dimodifikasi sedemikian rupa sehingga bisa dipakai untuk mengeruk sumber daya publik dengan cara yang halus dan cantik.
Meski sistem politik sudah diupayakan bisa menjawab tuntutan praktik demokrasi yang modern, namun lobang-lobang kelemahan sistem politik tetap dibiarkan. Dengan demikian maka perburuan rente tetap bisa dilakukan.
Penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik, tentu diawali atau dimulai dari sistem politik yang baik. Namun alih-alih terjadi tata kelola pemerintahan yang baik, justru yang terjadi adalah sistem yang korup.
Kita tidak bisa mendapatkan sistem tata kelola pemerintahan yang baik, selama sistem politik yang merupakan hulu tata kelola pemerintahan tidak diperbaiki. Asumsinya, tata pemerintahan yang baik tidak akan terwujud dari sistem politik yang korup. Di Indonesia pemilu tentunya sebagai momentum perbaikan sistem politik. Dalam periode lima tahun, sistem politik yang dipakai perlu dievaluasi.
Reformasi politik dimulai dari DPR
Dalam kerangka pemberantasan korupsi, banyak hal dalam sistem politik kita perlu dibenahi. Pola rekrutmen anggota partai politik merupakan hal yang paling krusial dari banyaknya masalah di dalam sistem politik kita. Hal ini karena anggota partai politik yang kebetulan juga menjadi anggota legislatif akan banyak menentukan dan menciptakan sistem politik berikutnya dan sistem tata kelola pemerintahan yang lebih luas. Bila sistem rekrutmen anggota legislatif menghasilkan anggota DPR yang berkinerja buruk dan tidak berintegritas, maka sistem politik dan sistem tata kelola pemerintahan juga akan buruk.
Produk-produk legislasi yang berkualitas rendah dan berpotensi memunculkan sistem yang korup adalah akibat dari sistem rekrutmen anggota DPR yang buruk. Namun sistem rekrutmen yang buruk juga memunculkan anggota DPR yang tak memiliki integritas. Banyak anggota DPR yang tersandung kasus korupsi. Anggota DPR yang berkualitas rendah juga membuat lembaga-lembaga negara lain jadi berkualitas rendah. Anggota DPR yang berkualitas rendah akan menunjuk hakim konsitusi yang korup atau pimpinan KPK yang tidak berkualitas, atau yang tidak mengancam mereka. Anggota DPR yang tak berintegritas juga seringkali membuat sistem aturan yang menguntungkan diri mereka sendiri. Dari catatan ICW, ada banyak anggota DPR periode ini yang tidak pro pemberantasan korupsi.
DPR juga memiliki fungsi legislasi. Undang-undang produk dari DPR akan digunakan dalam menata fungsi kenegaraan. Sehingga baik buruknya produk undang-undang juga akan terkait erat dengan kualitas dan integritas para legislator.
Belajar dari banyak survei, institusi DPR –sebagai pusat reformasi politik—sering disebut sebagai paling korup. Hal ini tentu menjadi preseden buruk bagi pengembangan demokrasi dan promosi praktik tata kelola pemerintahan yang baik. Karena dari DPR-lah lahir lembaga negara dan lembaga kuasi negara yang lain. Hakim konstitusi, hakim agung, Komisioner Komisi Yudisial, Anggota BPK, pimpinan KPK, Komisioner KIP dan KPI selama ini yang memilih adalah DPR. Kalau institusi yang melakukan pemilihan komisioner dan pejabat publik sudah korup, tentu sangat sulit kita berharap lembaga negara dan lembaga kuasi negara yang lain akan terbebas dari perilaku korup. Bukankah kalau kemudian ketua Mahkamah Kosntitusi dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan menjadi tersangka dalam kasus korupsi bisa kita simpulkan bahwa ada proses yang salah dari institusi pembentuk (DPR) yang sudah korup terlebih dahulu.
Juga belajar dari banyak kasus korupsi yang terjadi –paling tidak—selama lima tahun terakhir, terlihat bahwa selalu ada keterlibatan pihak eksekutif dan pihak DPR secara bersama-sama. Hal ini dimungkinkan bisa terjadi dengan sistem aturan atau mekanisme yang mereka buat sedemikian rupa sehingga setiap anggaran dibahas dengan mewajibkan melibatkan eksekutif dan DPR. Sepanjang anggota dewan masih memiliki kualitas yang demikian, maka masalah ini masih akan menjadi ganjalan dalam sistem politik penganggaran kita.
Pemilu dan reformasi politik
Jika pemilu dipercaya menjadi momentum pembenahan sistem politik yang membuat tata kelola pemerintahan menjadi baik, maka barangkali saat ini adalah waktunya kita harus melakukan sesuatu. Sesuatu yang harus bisa dipertanggungjawabkan bisa mengubah sistem. Sistem kekuasaan yang mengarah ke koruptif menuju sistem yang menghindarkan kita dari kecenderungan korup. Bahwa kemudian di dalam penyelenggaraan pemilu justru terjadi praktik-praktik korupsi, itu adalah buah dari aturan yang dibuat oleh anggota DPR yang berkualitas rendah itu.
Oleh karena itu, dalam hajatan pemilu sebenarnya banyak pembenahan yang harus dilakukan. Baik dalam penyelenggaran pemilu itu sendiri. Karena dengan membenahi sistem pemilu dan sistem politik, sebenarya kita juga membenahi sistem atau praktik tata kelola pemerintahan yang lebih luas.
Namun kembali kepada ungkapan Lord Acton di atas, terlepas dari tujuan di balik penyelenggaraan pemilu, pemilu itu sendiri tentu menjadi keniscayaan agar kita terhindar dari adanya kekuasaan yang korup. Pemilu semoga tidak hanya menjadi ritual sebagai upaya menghindarkan dari “tuduhan” Lord Acton, namun benar-benar ada tujuan yang lebih utama, memperbaiki tata pemerintahan yang baik secara bersungguh-sungguh.
Karena pemilu tidak hanya melakukan pergantian anggota instiusi legislatif, namun juga kemudian ada perubahan dari lembaga eksekutif. Perubahan tentu adalah dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Dari tata kelola yang korup menjadi tata kelola yang baik. Semoga Pemilu 2024 menjadi momentum reformasi politik dan sekaligus mendorong proses pemberantasan korupsi menjadi lebih baik.
Trackbacks/Pingbacks