Kapitalisme kini menghadapi krisis, akankah Sosialisme mampu menjadi penggantinya? Masihkah China sosialis?
Bagi kita yang tiap hari menjalani rutinitas bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, kita akan mengira bahwa sistem sosial adalah sebuah perjalanan yang linier. Namun bagi ilmuwan sosial sistem sosial-ekonomi akan melihatnya sebagai sebuah perjalanan penuh persaingan berebut pengaruh dan jatuh bangun luar biasa.
Apalagi kalau dilihatnya dalam kacamata makro atau global. Di dunia ini sistem arus utama dan sangat berpengaruh dalam tatanan ekonomi-politik saat ini adalah sistem kapitalis dan sistem sosialis. Keduanya saling berebut pengaruh, baik pada skala regional atau pun pada sebuah sistem negara.
Amerika versus China, Sosialisme versus kapitalisme
Dua negara yang memakai dua sistem dan saling berebut pengaruh adalah Amerika Serikat dan China. Amerika selama ini dianggap mengadopsi sistem kapitalis. Sementara China menggunakan sistem sosialis.
Namun dalam perkembangan situasi dunia sekarang, memaksa persaingan itu kepada kondisi yang sangat kompleks.
Untuk mengurai sisik melik persoalan kapitalisme-sosialisme tersebut, Magawati Institute melakukan diskusi buku berjudul China and the Twenty First Century Crisis tulisan Minqi Li. Lembaga pengkajian yang berafiliasi dengan Ketua PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri ini menyelenggarakan diskusi secara daring, pada Kamis malam 21 Februari 2023.
Menghadirkan 2 orang pemateri yaitu Airlangga Pribadi, Ph.D., pengajar di Fisip Universitas Airlangga dan Rono Koconegoro, peneliti di lembaga Sigmaphi.
Sementara Minqi Li sendiri, sanga penulis buku adalah profesor ekonomi di University of Utah. Tahun 1989 ia salah satu penggerak peristiwa revolusi Tiananmen, dan sempat dipenjara selama dua tahun karena aktivitasnya itu.
Reno mendapatkan giliran pertama mempresentasikan pembacaan buku tersebut dengan 11 lembar paparan power point.
Senjakala kapitalisme
Mengutip buku Minqi Li, menurut Reno, sebagai sebuah sistem yang masing-masing memiliki kelemahan, kapitalisme kini menuju sebuah babak akhir. Ia akan menuju sebuah titik batas yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk berkembang dan bertransformasi.
Basis dari sistem kapitalisme adalah upaya untuk mengakumulasi kapital yang berjalan terus, dengan motivasi untuk mengejar keuntungan. Sistem ini hanya bisa berjalan apabila ada pasokan tenaga kerja murah dan melimpah, energi yang tersedia cukup, sumber daya material sebagai modal tersedia melimpah dan kontinyu serta pajak yang rendah.
Pada situasi dewasa ini, ternyata ada penurunan keuntungan pada negara-negara yang menerapkan sistem kapitalisme itu. Di buku Minqi Li yang kaya akan data itu menyebutkan bahwa di Inggris dalam kurun waktu abad ke-18 sampai abad ke-20 laba cenderung turun. Sementara di Amerika Serikat laba juga turun di masa awal abad ke-20 sampai pertengahan abad ke-20.
Untuk mengeliminasi penurunan laba atau keuntungan biasanya kemudian akan ada perluasan wilayah, agar laba atau keuntungan tidak tergerus. Muncullah wilayah yang disebut sebagai periferi sebagai penyangga wilayah core, sebagai pusat bekerjanya sistem kapitalisme.
Faktor pembatas ekspansi kapitalisme
Dalam beberapa dekade belakangan Tiongkok menjadi wilayah semi-periferi bagi sistem kapitalisme global itu. Namun, rupanya China tidak serta merta bisa memenuhi upaya untuk memulihkan kondisi tergerusnya akumulasi modal.
Inilah yang kemudian menjadi faktor besar yang menghambat bagi keberlangsungan aktivitas kapitalisme tersebut. Biaya tenaga kerja dan sumber daya global cenderung meningkat. Kondisi ini yang kemudian disebut Minqi Li sebagai era kapitalisme mendekati batas “spatial fix”.
Di China sendiri sebagai negara sosialis sebenarnya telah mengalami transformasi. Akhir tahun 1970-an, perjuangan kelas dimenangkan oleh para kapitalis di dalam tubuh Partai Komunis China (PKC).
Inilah yang kemudian membuat kondisi sosialisme China sedikit melumer dan akhirnya kapitalisme menginfiltrasinya. Ada semacam dualisme sistem yang melekat pada Tiongkok. Namun situasi ini menimbulkan kontradiksi.
Tingkat investasi yang terlalu tinggi telah menurunkan tingkat keuntungan Tingkok. Saat upah, pajak dan biaya modal meningkat, kapitalisme di Tiongkok kemudian memasuki masa pengurangan keuntungan. Inilah paradoks kapitalisme semu di Tiongkok. Belum benar-benar kuat, telah masuk dalam ancaman krisis.
Di luar Tiongkok, bila krisis seperti ini terjadi maka para kaum kapitalis akan merelokasi modal ke tempat baru yang masih tersedia buruh dan melimpah. Sebenarnya di China mungkin saat ini menjadi satu-satunya tempat yang menyediakan buruh murah dan melimpah ruah. Namun seiring tuntutan hak sosial ekonomi yang terjadi di Tiongkok, maka situasi itu sudah tidak ada lagi di China. Sehingga bahkan, tidak ada tempat lain yang bisa untuk melakukan ekspansi kapitalis ini.
Karena tempat baru bagi ekspansi kapitalis setidaknya harus ada tenaga kerja murah, infrasturktur untuk produksi industrial, tidak boleh terhambat oleh minimnya sumber daya maupun krisis ekologis.
Buku tersebut menyebutkan bahwa sebenarnya selain Tiongkok ada negara lain yang memiliki tenaga kerja melimpah dan murah, yaitu India. Sayangnya India masih menghadapi persoalan mendasar yang bisa menghambat perannya untuk menjadi tempat ekspansi kapitalis. Misalnya harapan hidup India tertinggal 35 tahun dari China. Tingkat literasi India tertinggal 90 tahu dari China.
Krisis ekologi menghentikan kapitalisme
Di tingkat global, krisis ekologi juga membatasi kelangsungan kapitalisme ini. Agar manusia bisa lestari menghuni bumi, maka laju pemanasan global harus direm. Apakah kemudian China bisa menjawab tantangan krisis kapitalisme tersebut?
Ternyata diskusi ini tidak serta-merta bisa menjawab. Pertumbuhan ekonomi China harus di atas 5%, untuk menjaga stabilitas ekonomi. Ini akan membutuhkan pasokan minyak, gas dan batubara yang meningkat dan membebani daya dukung global. China juga tidak akan mampu untuk memenuhi batas emisi karbon guna menurunkan tingkat pemanasan global.
Jadi pada akhirnya kapitalisme dan sosialisme bertemu pada sebuah titik persinggungan kebuntuan. Sebelumnya sosialisme disorongkan menjadi alternatif pengganti kapitalisme yang sudah di ambang krisis. Namun kalau sosialisme ala China –dan ini satu-satunya model sosialisme yang paling perform— yang dijadikan pengganti, sistem sosialisme nya juga tercemari oleh kapitalisme.
Reno, dalam slide terakhir presentasinya menawarkan kalau sosialisme akan dijadikan pengganti kapitalisme –meski ada sistem lain—maka harus didefinisikan ulang. Ini akan terjadi kira-kira tahun 2050-an.
Apakah China masih sosialis?
Jadi apakah China masih sosialis? Ini tajuk utuh dari diskusi yang digelar oleh Megawati Institute. Ternyata diskusi tidak menjawab pertanyaan itu.
Diskusi buku memang tidak selalu menjawab sebuah permasalahan. Karena di sana yang terjadi adalah dialektika. Perlu terus diskusi dan diskusi. Makanya Arif Budimanta dari Megawati institute setuju dengan usulan Airlangga Pribadi yang menawarkan diskusi berikutnya untuk membedah buku lain berjudul Socialism with Chinese Characteristics tulisan Roland Boer. Peminat diskusi tinggi, karena ada 57 orang bergabung dalam diskusi ini.