Dalam lanskap perfilman Indonesia yang semakin beragam, Angkara Murka hadir memberikan warna pada genre film horor dengan sub-genre horor psikologis. Disutradarai oleh Eden Junjung dan diproduksi oleh Forka Films, Angkara Murka ini menawarkan lebih dari sekadar kisah penuh ketegangan. Film ini juga mengajak penonton untuk menyelami kondisi mental para tokohnya.

Film ini bercerita tentang sosok Ambar (Raihanuun) dan anaknya Bondan (Nabil Althaf) yang memutuskan untuk bekerja di pertambangan pasir untuk menggantikan Jarot (Aksara Dena), suaminya yang hilang saat bekerja di lokasi tambang pasir itu. Bogel (Alex Suhendra) teman Jarot yang bekerja di lokasi tambang memberikan kesaksian bahwa Jarot hilang dibawa oleh setan yang ada di lokasi tambang itu karena ia tidak segera pulang saat hari mulai gelap.

Latar film ini adalah sebuah desa tambang yang keras. Eden Junjung membangun dunia yang sangat dekat dengan realitas: tempat di mana tanah menjadi sumber penghidupan sekaligus sumber konflik. Para pekerja tambang dalam film ini digambarkan bukan sebagai pahlawan atau penjahat, tetapi sebagai manusia biasa yang berjuang di antara dua pilihan buruk—bertahan hidup dengan harga diri atau menyerah kepada sistem yang menindas.

Di sisi lain, ada pemilik tambang bernama Raden Broto (Whani Darmawan) yang ambisius. Bukan hanya ingin kaya, dia juga ingin berkuasa dengan menjadi kepala daerah. Apa pun dilakukannya agar keinginannnya tercapai, termasuk mengorbankan tumbal untuk iblis penjaga tambang.

Raden Broto, memahami benar bahwa kemiskinan adalah “aset” yang dapat digunakan untuk menumpuk kekayaan. Para pekerja tambang bergaji kecil yang sering mengomel, tapi di sisi lain tidak berani meninggalkan pekerjaan tersebut, karena tidak tahu harus mencari mata pencaharian apa. Dalam keseharian dengan pendapatan terbatas, para pekerja tambang melihat godaan untuk mencari berlian di tambang ilegal yang yang juga dikelola Raden Broto.

Keserakahan yang mewujud dalam struktur sosial

Film ini tidak menunjuk pelaku tunggal dalam ketimpangan yang terjadi. Ia menunjukkan bahwa sistemlah yang menciptakan ruang bagi keserakahan tumbuh—baik dari atas maupun dari dalam komunitas itu sendiri. Ketika akses terhadap tanah, air, dan harga pasir ditentukan oleh mereka yang tak pernah menyentuh lumpur, maka kekuasaan tidak lagi terletak pada keadilan, melainkan pada kepemilikan.

Satu sudut pandang menarik juga dihadirkan dalam film ini, bahwa keserakahan bukan hanya milik mereka yang kaya dan berkuasa. Keserakahan juga dimiliki oleh mereka yang miskin dan tak berdaya. Terkadang, mereka juga punya ambisi untuk kaya dan memilih jalan yang keji untuk mencapai tujuannya. Hal tersebut, terkadang menjadi sebuah struktur sosial yang membelit bak lingkaran setan.

Angkara Murka termasuk genre film horor psikologis, yaitu sebuah subgenre horor yang berfokus pada keadaan mental, emosional, dan psikologis karakter untuk menakut-nakuti, mengganggu, atau membuat penonton merasa tidak nyaman. Berbeda dengan horor yang mengandalkan kejutan (jumpscare), adegan berdarah-darah (gore), atau monster dan entitas supernatural sebagai sumber utama ketakutan, horor psikologis menggali kengerian yang berasal dari dalam pikiran manusia itu sendiri.

Sebelumnya, film ini juga tayang perdana secara global dalam judul internasional “Mad of Madness” di Far East Film Festival (FEFF) 2025 di Udine, Italia yang digelar pada 24 April-2 Mei 2025.

Sebelum memproduksi Angkara Murka, Forka Films sudah membuat sejumlah film sejak berdiri pada 2001 dengan nama Fourcolours Films. Rumah produksi milik sutradara dan produser Ifa Isfansyah ini sudah banyak membuat film-film yang mendapatkan penghargaan di berbagai festival film internasional.

Film-film yang dibuat Forka Films antara lain, Siti, Turah, The Seen and Unseen, Memories of My Body, Yuni, Before, Now & Then, dan Gadis Kretek. Film-film ini banyak dibuat oleh sutradara terkenal yakni Kamila Andini, Ifa Isfansyah, dan Garin Nugroho.