Setiap tahun, momen Ramadan dan Idul Fitri diwarnai dengan pertanyaan yang nyaris rutin: “Puasa mulai kapan?” atau “Lebaran ikut yang mana?”

Di balik canda, meme, dan perdebatan ringan itu, tersimpan persoalan yang belum tuntas diselesaikan: kenapa umat Islam masih sering berbeda dalam hal waktu ibadah?

Dari keresahan itu lahir satu gagasan besar: Kalender Hijriyah Global. Sebuah upaya menyatukan umat Islam di seluruh dunia melalui sistem penanggalan Islam yang konsisten dan seragam — dari Mekkah hingga Makassar, dari Istanbul hingga Kupang.

Namun sebagaimana semua ide besar, jalan menuju ke sana tidak mulus. Perjalanan ini harus melewati wilayah yang sensitif: otoritas agama, warisan budaya, dan keberagaman praktik keislaman.

Gagasan Kalender Hijriyah Global: Apa dan Mengapa?

Kalender Hijriyah Global adalah sebuah sistem yang ingin menyatukan awal bulan hijriyah secara serempak di seluruh dunia, terutama untuk bulan-bulan penting seperti Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah.

Bukan karena umat tak paham ilmu falak atau tak bisa menghitung posisi bulan, melainkan karena cara menafsirkan dan menetapkan awal bulan di setiap negara dan ormas kerap berbeda. Sebagian menggunakan rukyat (pengamatan langsung hilal), sebagian lain menggunakan hisab (perhitungan astronomi), dan sebagian menggabungkan keduanya.

Maka lahirlah gagasan kalender tunggal yang memadukan metode-metode tersebut secara ilmiah dan disepakati bersama. Tujuannya sederhana: agar umat Islam tidak lagi bingung kapan memulai ibadah penting, dan agar perayaan hari besar menjadi benar-benar momen kebersamaan global.

Muhammadiyah dan Peran Progresif dalam Penanggalan Islam

Di Indonesia, Muhammadiyah adalah ormas yang paling vokal mendukung Kalender Hijriyah Global. Bukan tanpa sebab. Sejak awal abad ke-20, Muhammadiyah telah mendorong penggunaan hisab untuk memastikan penanggalan Islam yang ilmiah, modern, dan bisa diprediksi.

Bagi Muhammadiyah, kepastian waktu ibadah adalah bagian dari ikhtiar kemajuan. Kalender yang disusun dengan presisi bukan berarti menolak tradisi, tapi justru memperkuat ketepatan pelaksanaan ibadah. Bahkan, mereka sudah sejak lama merilis kalender tahunan berdasarkan hisab, termasuk jadwal Ramadan dan Idul Fitri beberapa tahun ke depan.

Namun Muhammadiyah tidak sendiri. Di luar negeri, lembaga-lembaga seperti Islamic Society of North America (ISNA) dan European Council for Fatwa and Research (ECFR) juga mengadopsi pendekatan serupa — menjadikan perhitungan sebagai dasar penetapan waktu keagamaan.

Kekhawatiran yang Sahih: Tradisi, Otoritas, dan Ragam Pendekatan

Meski terdengar ideal, gagasan Kalender Hijriyah Global tidak serta-merta diterima semua pihak. Beberapa organisasi, termasuk Nahdlatul Ulama (NU), mempertahankan pendekatan rukyat sebagai bagian dari tradisi dan pengamalan syariat.

Bagi NU, hilal bukan sekadar data, tetapi juga pengalaman spiritual dan sosial. Tradisi melihat hilal mengandung nilai ibadah, musyawarah, dan kebersamaan yang tak tergantikan oleh angka atau grafik. Terlebih lagi, dalam tradisi fikih klasik, setiap daerah memiliki kemungkinan untuk memiliki awal bulan yang berbeda — sesuai kondisi geografis dan waktu terbenam mataharinya.

Penolakan terhadap kalender global bukan selalu bentuk konservatisme, melainkan juga ikhtiar menjaga keberagaman mazhab dan otoritas keagamaan lokal. Tak sedikit yang khawatir bahwa kalender global bisa memunculkan sentralisasi, atau bahkan dominasi tafsir tunggal atas yang lainnya.

Mungkinkah Kita Bertemu di Tengah?

Meski berbeda pendekatan, hampir semua pihak sepakat pada satu hal: umat Islam butuh panduan waktu yang lebih solid dan tidak membingungkan. Perbedaan awal puasa atau lebaran bukan sekadar soal teknis, tapi bisa berdampak sosial — dari urusan cuti hingga logistik ibadah haji.

Di sinilah letak pentingnya Kalender Hijriyah Global. Ia bukan untuk memaksakan satu cara, tapi sebagai forum dialog dan penyamaan standar yang tetap menghormati ragam pendekatan. Jika disepakati bersama, sistem ini bisa dirancang untuk mengakomodasi metode hisab dan rukyat, serta membuka ruang musyawarah lintas mazhab.

Maka, gagasan ini perlu disambut bukan dengan curiga, tapi dengan itikad baik dan keinginan tulus untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah, bukan justru menambah sekat.

Kesatuan Waktu sebagai Simbol Kesatuan Umat

Di dunia yang semakin terhubung, kalender global bisa menjadi simbol spiritual dan kultural bahwa umat Islam, meskipun berbeda bahasa, mazhab, dan kebiasaan, tetap memiliki momen ibadah yang dirayakan bersama.

Ia bukan sekadar alat penanggalan, tetapi jembatan lintas budaya dan mazhab yang memampukan kita saling memahami. Jika dirancang dengan adil dan inklusif, Kalender Hijriyah Global bisa menjadi warisan penting dunia Islam modern.

Namun semua itu hanya mungkin jika ada kesediaan untuk duduk bersama, bukan hanya menghitung bintang, tapi juga mendengar suara bumi — suara komunitas, tradisi, dan nilai-nilai yang selama ini dijaga oleh umat di berbagai belahan dunia.

Lantang.id | Merawat Akal, Menjaga Tradisi