Masyarakat dibuat bingung dengan kejadian harga beras naik yang cukup tinggi. Kenaikannya tak tanggung-tanggung, sekitar 25 persen. Bahkan, ada merek yang kenaikannya mendekati 100 persen.
Iman, seorang pekerja swasta mengaku kaget stok beras di beberapa minimarket di sekitar tempat tinggalnya di Depok langka. Hal tersebut terjadi mulai awal September 2025. Ketika menemukan beras yang biasa dia beli—merek Topi Koki—kenaikannya hampir dua kali lipat.
Untuk kemasan 5 kilogram, merek Topi koki biasa dijual Rp74 ribu. Namun sejak awal desember, harganya mencapai Rp130 ribu. Bahkan ada yang menyebutkan, merek tersebut ada yang menjual hingga Rp140 ribu.
Pantauan lantang.id di sebuah supermarket di Bogor, hanya ada tersedia satu merek, yaitu Anak Raja. Beras kemasan 5 kilogram tersebut dijual seharga Rp93 ribu. Padahal biasanya merek tersebut dijual Rp74 ribu. Di supermarket tersebut, biasanya juga terdapat berbagai merek beras premium. Tapi sejak akhir Agustus 2025, merek-merek tersebut seperti hilang dari pasaran.
Harga beras naik memukul daya beli
Kenaikan harga ini langsung memukul daya beli masyarakat, terutama keluarga dengan pendapatan menengah ke bawah. Beras, sebagai makanan pokok utama, menyumbang porsi besar dalam pengeluaran bulanan.
Ketika harga beras naik, anggaran rumah tangga harus dipangkas dari pos pengeluaran lain, atau bahkan berujung pada pengurangan porsi makan. Kondisi ini menciptakan tekanan ekonomi yang berat dan kekhawatiran akan ketahanan pangan keluarga.
Selain itu, para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) seperti pemilik warung makan, restoran, dan katering juga merasakan dampaknya. Mereka dihadapkan pada pilihan sulit. Menaikkan harga jual yang berisiko kehilangan pelanggan, atau menanggung kerugian dengan mempertahankan harga lama. Hal ini tidak hanya mengancam kelangsungan bisnis kecil, tetapi juga berpotensi memicu inflasi pada sektor makanan secara keseluruhan.
Kekhawatiran publik semakin memuncak karena pengalaman pahit dengan harga minyak goreng yang melambung tinggi dan tidak pernah kembali normal. Masyarakat khawatir kenaikan harga beras kali ini juga akan menjadi permanen, mengubah peta pengeluaran dan pola konsumsi secara struktural.

“Takutnya seperti minyak goreng. Sudah naik, gak turun lagi,” kata Yanti, perempuan yang tinggal di Bandung.
Kenaikan harga beras ini harus mendapat perhatian dari pemerintah dan dicari solusinya. Bila harga tersebut tidak turun lagi seperti harga minyak goreng, hidup masyarakat akan terasa semakin berta. Bahkan, sangat mungkin kenaikan harga beras ini dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Sebab, beras adalah kebutuhan paling pokok dari masyarakat Indonesia.
 
						 
							







 
			 
			 
			 
			
