Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia akhirnya membatalkan Keputusan KPU RI Nomor 731 Tahun 2025 tentang penetapan dokumen persyaratan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai informasi publik yang dikecualikan. Pembatalan ini dilakukan setelah gelombang protes dari masyarakat.
Keputusan ini awalnya mengundang kontroversi besar karena dianggap bertentangan dengan prinsip transparansi dalam proses demokrasi. Banyak netizen berkomentar bahwa keputusan ini untuk mengamankan kasus ijazah Joko Widodo dan Gibran Rakabuming Raka yang sedang dipermasalahkan oleh beberapa pihak.
Keputusan tersebut dikeluarkan secara cepat dan dianggap tanpa melalui proses kajian mendalam dan terasa kurang transparan. Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan aktivis demokrasi langsung mengkritik langkah ini sebagai bentuk pengabaian terhadap prinsip akuntabilitas dan kepercayaan publik.
“Kita tidak mau memilih kucing dalam karung. Masyarakat harus tahu siapa calon ini, apa latar belakangnya,” kata Pakar Tata Kelola Pemilu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Bambang Eka Cahya Widodo, S.IP., M.Si., yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Bawaslu RI periode 2010–2012.
Protes masyarakat semakin membesar setelah keputusan itu tersebar luas di media sosial. Banyak netizen yang menyatakan ketidakpuasan atas keputusan yang dianggap terburu-buru, tidak transparan, dan tidak berbasis data.
Akhirnya, setelah tekanan publik dan kritik dari berbagai pihak, KPU memutuskan untuk membatalkan keputusan tersebut, dan menyatakan bahwa dokumen tersebut tetap harus tersedia bagi publik.
Kebijakan publik tanpa uji kualitas
Kasus KPU menjadi salah satu contoh nyata dari masalah sistemik dalam pengambilan kebijakan oleh lembaga negara. Kebiajakn dan keputusan strategis dibuat tanpa melalui proses evaluasi yang matang, konsultasi yang luas, maupun uji dampak jangka panjang. Hampir tak ada mitigasi dalam formulasi kebijakan publik.
Kondisi ini tidak hanya terjadi di KPU, tetapi juga merambah ke lembaga lain, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Ada banyak kasus. Salah satu contohnya adalah perkara Tom Lembong.
Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan, sempat ditetapkan bersalah oleh Mahkamah Agung dalam kasus impor gula, meskipun tidak ada bukti kuat (mens rea) yang membuktikan ia secara langsung terlibat dalam tindak pidana. Ia dihukum selama 4 tahun 6 bulan penjara, meskipun kemudian bebas setelah mendapat abolisi.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah proses peradilan benar-benar adil jika keputusan dapat dibuat tanpa dasar fakta yang kuat? Apakah lembaga peradilan bisa dijadikan alat politisasi? Pertanyaan-pertanyaan ini banyak diajukan tokoh publik dalam siniar maupun masyarakat di media sosial.
Refleksi terhadap kualitas institusi
Kedua kasus menggambarkan krisis kualitas kebijakan dalam lembaga negara. Kebijakan yang dibuat terlalu cepat, tidak didasarkan pada analisis mendalam, atau bahkan dipengaruhi oleh tekanan politik, berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap institusi.
Apakah hal-hal ini akan terus terjadi di kemudian hari? Bila hal-hal seperti ini masih terjadi dan kebijakan hanya untuk memberi hak istimewa kepada sebagian pihak, rasanya akan mustahil mewujudkan apa yang disebut sebagai Indonesia Emas. Impian ini hanya dapat terwujud bila kebijakan lembaga negara yang dirumuskan oleh para pejabatnya memenuhi asas keadilan dan transparansi. Tanpa itu, Indonesia Emas rasanya hanya mimpi di siang bolong.