SBY dan Megawati berebut panggung ilmiah untuk pencitraan untuk kebijakan pemerintahannya saat berkuasa.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati Soekarno Putri (Mega) adalah dua presiden Indonesia yang kebetulan menjabat dalam waktu yang berurutan. Karena itulah dua orang presiden ini selalu diwarnai kompetisi dan perseteruan.
SBY memulai kontestasi menjadi calon presiden ketika Mega masih menjabat presiden, yang kebetulan SBY adalah anak buahnya sebagai menteri di kabinet Mega.SBY yang mengundurkan diri dari menteri Mega menjadi awal perseteruan panjangnya. Kebetulan Mega hanya tiga tahun menjabat presiden dengan meneruskan jabatan presiden Gusdur yang diangat oleh MPR, semantara SBY menjabat presiden sepuluh tahun melalui sistem kontestasi politik pemilihan umum langsung lima tahunan.
Tulisan ini tidak membandingkan gaya kepemimpinan dan gaya kontestasi keduanya. Namun karena kebetulan di waktu yang bersamaan jauh setelah menjabat presiden keduanya terlibat dalam persaingan mencari popularitas ilmiah.
Cawe-cawe Mega di pemerintahan Jokowi
Di era presiden Joko Widodo, Mega masih banyak cawe-cawe dalam urusan pemerintahan. Wajar sebagai ketua partai yang berkuasa Mega tentu masih merasa punya saham atas pemerintahan Joko Widodo. Ketika Presiden Jokowi membuat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Mega diangkat sebagai anggota dewan pengarah di inntitusi tersebut.
Tak berhenti di situ, ketika Presiden Jokowi mendirikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Mega ditunjuk sebagai Ketua Dewan Pengarahnya. Kebijakan Presiden Jokowi ini, menjadi peluang lebar bagi Mega untuk menguatkan citranya sebagai sosok yang intelektual, meskipun cukup diwarnai kontroversi. Ada yang menyebut bahwa kebijakan ini merupakan upaya untuk mengkooptasi sains ke dalam kepentingan politik. Tidak ada relevansinya untuk menempatkan Dewan Pengarah BPIP sebagai Dewan Pengarah BRIN.
Megawati berburu penggung ilmiah
Tak menyurutkan ambisi, Mega kemudian mencari panggung baru dengan mencari institusi yang bisa menjadikannya guru besar. Akhirnya Universitas Pertahanan (Unhan) mengulurkan tangannya dengan memberikan panggung untuk memperoleh jabatan guru besar kehormatan. Panggung ilmiah ini juga penuh diwarnai kontroversi.
Beberarapa saat sebelum mengucapkan pidato pengukuhan guru besar kehormatan di Unhan, Megawati juga membuat paper atau tulisan ilmiah di Jurnal Unhan Volume 11 Nomor 1, edisi April 2021. Tulisan tersebut juga memunculkan kontroversi di publik yang luas. Paper sebanyak 18 halaman tersebut berjudul Kepemimpinan Presiden Megawati pada Era Krisis Multidimensi, 2001-2004. Paper tersebut sempat diunggah di internet dan warganet banyak yang mengunduh, meski belakangan paper dihilangkan dari tempat publikasinya.
Memuji diri sendiri dengan cara ilmiah ini dianggap tidak etis. Kemudian jabatan guru besar kehormatan yang diberikan oleh Unhan kepada Mega juga dianggap menyalahi pakem ilmiah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga menyebutkan tidak ada istilah guru besar kehormatan, karena lazimnya yang ada doktor kehormatan. Pengukuhan guru besar kehormatan Mega tetap melenggang. Kritik publik terhadap kejadian ini juga sempat riuh rendah, baik di dunia maya maupun di dunia nyata.
SBY lebih kalem
Satu minggu setelah panggung ilmiah Mega dengan berbagai hujatan dan kritikan berlangsung, di kampus IPB University, SBY juga mendapatkan panggung ilmiah. Siang hingga sore itu SBY mewakili alumni IPB University (karena gelar doktor SBY juga diraih di IPB University) menjadi saksi sidang pengukuhan doktor putra keduanya, Edhie Baskoro Yudhoyono.
Barangkali hanya kebetulan saja dua panggung ilmiah dua presiden ini terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan. Namun bedanya panggung ilmiah Mega penuh kritik dan hujatan. Sementara panggung ilmiah keluarga SBY penuh pujian, kecuali satu dua komentar miring ‘pendengung’ di kanal youtube Edhie Baskoro.
Mega memuji dan menilai kinerjanya sendiri ketika tiga tahun menjabat presiden di pidato pengukuhan guru besar kehormatannya. Sementara Edhie Baskoro mengkaji secara ilmiah dan komprehensif kebijakan dan program pengembangan pariwisata nasional SBY (ayahnya) saat menjabat presiden di dalam disertasinya.
Kedua presiden mencoba menarik ke ranah ilmiah semua kebijakan pemerintahannya. Keduanya ingin segala kebijakan pemerintahannya bisa terdokumentasi secara ilmiah dan kelak bisa dikaji oleh anak cucu generasi bangsa ini di masa yang akan datang. Niat ini tentu sangat bagus dan mulia dilihat dari semangat pengembangan literasi bangsa. Namun, keduanya menempuh jalan yang jauh berbeda dalam hal metode dan caranya.
Terlepas setuju atau tidak setuju sebagai presiden yang berlatar belakang militer dalm konteks proses laku demokrasi, tetapi SBY cukup baik dalam menempuh jalan mencari panggung ilmiah terkait kebijakan pemerintahannya. Semua kebijakan SBY sejak awal sudah dipahatkan dalam kerangka dokumentasi ilmiah.
Legacy SBY
SBY pernah meluncurkan buku yang berjudul Transforming Indonesia, Selected International Speeeches, yang diterbitkan oleh PT Bhuana Ilmu Populer. Buku ini berisi pidato SBY di beberapa forum internasional. Selain itu Dino Patti Djalal (juru bicara dan staf khusus SBY) pernah menulis dua buku berjudul Harus Bisa! Seni Memimpin A la SBY. Buku ini berisi kompilasi dan kodifikasi atas memo-memo SBY saat menjabat presiden dan tentu merupakan representasi kebijakan SBY dalam menjalankan roda pemerintahan dan kekuasaannya. Hal ini juga makin menabalkan klaim bahwa SBY adalah presiden yang intelek, meski berlatar belakang militer.
Banyak tokoh dan politisi membuat buku tentang dirinya, namun kebanyakan ditulis orang lain dan penulisannya dilakukan jauh sebelum sang tokoh atau politisi menjadi tokoh. Sebelum sang tokoh menjadi apa-apa dan belum menjadi siapa. Mega dan SBY juga pernah ada yang menulis biografinya, menjelang keduanya naik ke tampuk kekuasaan. Namun, karena buku-buku ini berisi hal-hal tentang keduanya sebelum menjadi presiden, tentu tidak relevan untuk dibicarakan sebagai bagian dari kinerjanya sebagai presiden.
Sementara Mega, sejak lama juga cukup dekat dengan kalangan ilmiah. Sejak menjabat presiden Mega juga menjabat Ketua Yayasan Kebun Raya Indonesia. Kebun Raya ini identik dengan penelitian dan pelestarian keragaman hayati yang berada di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kedekatan ini berlanjut setelah LIPI bersinggungan kebijakan dengan BRIN. Sayangnya intensi jalinan Mega dengan BRIN diwarnai kontroversi juga.
Bagaimana Jokowi?
Dua presiden telah memilih jalan untuk mencari panggung ilmiah. SBY mencoba menempatkan diri dalam koridor dan pakem-pakem ilmiah yang rasional. Sementara Mega sangat terobsesi untuk mengkooptasi keilmiahan dengan laku politik. Pada akhirnya, semua aktivitas ini akan terarsip oleh lembaga arsip negara ANRI.
Kelak melalui berbagai arsip itu, generasi masa depan bangsa ini akan arif dalam belajar memilih. Mana yang mesti dijadikan inspirasi untuk diwarisi sebagai paradigma untuk memanjukan bangsa ini. Lalu jalan kira-kira mana yang akan dipilih Jokowi sebagai presiden kelak dalam panggung ilmiah pemerintahannya? Wa allahu a’lam