Di tengah transisi kekuasaan menuju era Presiden Prabowo Subianto, satu gagasan mulai mengemuka dan dibicarakan dengan antusias: pendirian Koperasi Merah Putih di setiap desa dan kelurahan di Indonesia. Proyek ambisius ini bertujuan membangkitkan ekonomi rakyat, memperkuat fondasi nasionalisme ekonomi, dan memperluas keadilan sosial hingga ke pelosok negeri.
Namun, sebagaimana banyak kebijakan populis sebelumnya, rencana ini juga memunculkan sorotan kritis. Di balik narasi besar soal pemberdayaan, publik mencemaskan potensi koperasi ini menjadi kendaraan politik atau menambah beban kelembagaan desa yang sudah kompleks. Kita perlu membedah janji dan potensi jebakan dari proyek nasional ini secara jernih.
Semangat Nasionalisme atau Simbolisme Politik?
Pemilihan nama “Merah Putih” menyimpan pesan kuat. Nama itu menyiratkan semangat kebangsaan dan keterikatan pada akar sejarah. Bahkan, nama tersebut secara simbolik merujuk pada warisan pemikiran Margono Djojohadikusumo, kakek Prabowo, yang dikenal sebagai pendiri Bank Negara Indonesia sekaligus tokoh koperasi awal kemerdekaan.
Namun sejarah nasionalisme ekonomi Indonesia juga memperlihatkan bagaimana simbol-simbol besar sering dipakai untuk agenda politik praktis. Wajar jika publik mempertanyakan apakah koperasi ini sungguh-sungguh hadir untuk memberdayakan rakyat atau justru menjadi proyek pencitraan dan konsolidasi kekuasaan.
Pengalaman masa lalu menunjukkan penggunaan koperasi sebagai instrumen politik, baik di era Soekarno maupun Orde Baru. Maka, Koperasi Merah Putih harus menghindari jebakan sejarah kelam dengan wajah baru.
Ekonomi Rakyat: Dari Desa untuk Desa, atau dari Pusat ke Desa?
Koperasi Merah Putih menyasar unit terkecil dalam struktur sosial: desa dan kelurahan. Konsep ini terdengar ideal. Namun, pelaksanaannya membutuhkan pendekatan kontekstual dan tidak bisa dilakukan secara seragam.
Koperasi perlu tumbuh dari kebutuhan dan inisiatif masyarakat desa. Bila pemerintah memaksakan format dari atas tanpa memperhatikan keragaman lokal, koperasi rentan kehilangan relevansi dan daya hidup.
Warga desa harus ikut merancang dan menjalankan koperasi. Jika tidak, koperasi hanya menjadi proyek administratif yang berdiri di atas kertas, tanpa dampak nyata. Lebih parah lagi, koperasi bisa lahir sekadar untuk menyerap dana bantuan tanpa rencana usaha jangka panjang.
Tumpang Tindih dan Kekacauan Tata Kelola
Banyak desa sudah memiliki BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) yang menjalankan fungsi ekonomi. Masuknya koperasi baru bisa menimbulkan rivalitas kelembagaan, terutama jika struktur dan fungsi antar lembaga tidak dibedakan dengan jelas.
Indonesia menyimpan sejarah panjang koperasi mati suri—koperasi yang hanya aktif di atas kertas. Jika pola lama terus berulang tanpa reformasi sistem manajemen dan pengawasan, maka Koperasi Merah Putih sekadar menjadi simbol.
Salah Kelola dan Potensi Penyalahgunaan
Setiap proyek besar yang melibatkan dana publik serta menjangkau unit pemerintahan terkecil membawa risiko korupsi. Kasus koperasi fiktif, mark-up anggaran, dan koperasi sebagai alat kampanye sering terjadi.
Tanpa sistem verifikasi dan pengawasan independen, koperasi mudah disalahgunakan. Risiko semakin besar jika pengurus koperasi dipilih karena kedekatan politik, bukan karena kompetensi.
Hingga kini, belum ada kejelasan soal otoritas pengawasan koperasi ini. Apakah Kementerian Koperasi, pemerintah daerah, atau lembaga khusus yang akan mengawasinya? Tanpa struktur akuntabilitas yang kuat, koperasi mudah dimanfaatkan elite lokal.
Digitalisasi: Janji Besar, Tantangan Nyata
Salah satu keunggulan Koperasi Merah Putih terletak pada integrasi digital. Transaksi daring, pelaporan keuangan transparan, dan pemasaran melalui e-commerce nasional menjadi janji menarik.
Namun, banyak desa belum memiliki akses internet stabil atau SDM yang menguasai teknologi digital. Tanpa pelatihan menyeluruh dan pendampingan berkelanjutan, digitalisasi akan menjadi sekadar kosmetik.
Warga desa membutuhkan koperasi yang mampu menjual produk mereka dan memberikan keuntungan nyata, bukan sekadar dashboard digital yang membingungkan.
Beban Simbolik dan Risiko Gagal Citra
Nama “Merah Putih” membawa harapan sekaligus beban. Nama ini menciptakan ekspektasi tinggi.
Jika koperasi gagal, dampaknya tidak hanya mencoreng citra pemerintahan, tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap koperasi secara umum. Maka, pemerintah tidak boleh menjadikan koperasi ini sebagai proyek coba-coba. Langkah awal perlu berupa proyek percontohan, uji kelayakan, dan evaluasi menyeluruh sebelum peluncuran nasional.
Menuju Koperasi yang Berdaulat dan Relevan
Koperasi Merah Putih dapat menjadi tonggak penting dalam sejarah ekonomi rakyat Indonesia. Tapi ini hanya mungkin jika pembangunan koperasi dilakukan secara bertahap, inklusif, dan transparan. Pemerintah perlu mendengarkan suara dari desa, bukan hanya menyodorkan proposal dari pusat.
Koperasi sejati bukan sekadar unit usaha. Ia merupakan ruang belajar dan tempat membangun kepercayaan. Masyarakat harus terlibat langsung dalam pembentukan, pengelolaan, dan pemanfaatannya.
Jika Prabowo ingin meninggalkan warisan yang bermakna, maka Koperasi Merah Putih harus dibangun dengan kualitas, transparansi, dan kesungguhan.
Penutup
Koperasi Merah Putih lahir dari ide besar dan hadir dalam momentum politik penting. Ia bisa menjadi harapan, tapi juga berpotensi menjadi jebakan. Di sinilah publik perlu bersikap kritis—bukan untuk menolak, melainkan untuk memastikan agar semangat pemberdayaan benar-benar dirasakan rakyat, bukan hanya elite.