Dari rencana Rp200 triliun, program makan bergizi gratis, hingga perbandingan SBY–Jokowi, Menteri Keuangan baru langsung jadi sorotan publik dan pasar.
Penunjukan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani Indrawati menjadi salah satu reshuffle kabinet yang paling banyak menyedot perhatian publik. Harapan besar segera ditumpahkan padanya: mengawal stabilitas fiskal, mendorong pertumbuhan, dan mengelola program-program populis pemerintahan baru. Namun kenyataan yang muncul beberapa hari setelah ia dilantik memperlihatkan jalan terjal yang penuh kontroversi.
Harapan Tinggi dari Pasar dan Pemerintah
Sebagai mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan dan ekonom yang malang melintang di dunia keuangan, Purbaya dianggap punya modal teknis yang cukup. Pemerintah mengandalkannya untuk menjaga komitmen fiskal di tengah target pertumbuhan ekonomi ambisius, sementara investor menunggu kepastian bahwa disiplin anggaran tetap terjaga pasca-ditinggal Sri Mulyani.
Salah satu langkah awal yang langsung diumumkannya adalah rencana pemindahan dana pemerintah hingga Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke bank-bank BUMN. Kebijakan ini disebut sebagai cara cepat untuk mendongkrak likuiditas dan memperbesar ruang perbankan menyalurkan kredit ke sektor riil.
Kenyataan yang Memicu Kontroversi
Namun, respons publik dan pasar tidak serta-merta positif. Kalangan ekonom menilai kebijakan itu berisiko menimbulkan distorsi dan moral hazard, sementara sebagian investor meragukan konsistensi disiplin fiskal. Penunjukan Purbaya sendiri sempat dipandang sebagai sinyal perubahan arah kebijakan yang bisa menggerus kepercayaan pasar.
Kontroversi juga muncul dari beberapa pernyataannya di publik. Ia menyoroti rendahnya serapan anggaran program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan meminta Badan Gizi Nasional menggelar jumpa pers bulanan untuk membuka realisasi penggunaan dana ke publik. Nada kritik tajam ini dipuji sebagai bentuk transparansi, tetapi juga dianggap bisa menimbulkan friksi antar lembaga.
Di sisi lain, perbandingan yang ia lontarkan soal kinerja ekonomi era SBY dan Jokowi ikut menyulut perdebatan. Purbaya menilai pertumbuhan ekonomi lebih tinggi pada masa SBY, sementara di era Jokowi pembangunan infrastruktur besar-besaran tidak otomatis mengangkat laju pertumbuhan. Pandangan ini menambah warna politik-ekonomi dalam kinerjanya sebagai bendahara negara.
Antara Harapan dan Realitas
Dengan posisinya yang strategis, Purbaya menghadapi dua tuntutan sekaligus: menjaga kepercayaan pasar internasional yang terbiasa dengan ketegasan Sri Mulyani, dan menyukseskan program populis pemerintah yang membutuhkan belanja besar. Harapan publik jelas tinggi—tetapi realitasnya, setiap langkah kebijakan harus dinegosiasikan antara kebutuhan fiskal, tekanan politik, dan reaksi pasar.
Kontroversi mungkin belum akan berhenti dalam waktu dekat. Justru dari perdebatan inilah kinerja Purbaya akan diukur: apakah ia bisa membuktikan bahwa kebijakan kontroversial yang ditempuh akan menghasilkan pertumbuhan nyata tanpa mengorbankan disiplin fiskal.