Di bawah langit pendidikan tinggi Indonesia, siapa sesungguhnya yang berhak mengatur?

“Jumlahnya lebih banyak daripada bintang di pundak,” gumam M. Nur Purnamasidi, anggota Komisi X DPR RI, seraya menepuk map biru di meja rapat. Sore itu, akhir Mei 2025, Jakarta masih basah oleh sisa gerimis, tapi ruangan di Senayan memanas oleh data yang dibentangkan: 124 perguruan tinggi milik kementerian/lembaga di luar Kemendikbudristek, tersebar di 24 kementerian, dengan lebih dari 800 program studi.

Namun yang lebih mengejutkan: hanya 15 kampus yang benar-benar murni kedinasan. Sisanya—lebih dari 100—membuka prodi umum, bahkan bersaing langsung dengan PTN/PTS. Tak sedikit dari mereka tidak terakreditasi, tidak terlapor ke PDDikti, dan berjalan dalam bayang-bayang birokrasi sektoral.

Di Balik Seragam dan Lambang Garuda

Rapat itu digelar tertutup, tapi cerita bocor dari dalam. Seorang staf ahli di Komisi X menyebut, Dirjen Vokasi Kemendikbudristek memproyeksikan peta merah: kampus-kampus yang “mbalelo” dari regulasi pendidikan nasional. Di layar, titik-titik tersebar padat—Kementerian Kesehatan, Perhubungan, Perindustrian, Kelautan, hingga Hukum dan HAM.

Mereka semua, secara de facto, menjalankan sistem pendidikan tinggi sendiri. Dengan kurikulum sendiri. Dengan dosen ASN sendiri. Dengan sistem pelaporan sendiri—jika ada. “Ini bukan soal ego kementerian,” kata sang dirjen. “Ini soal keberadaan negara dalam mengatur masa depan intelektual rakyatnya.”

Statistik yang Menyesakkan

Data dari BAN-PT dan PDDikti menunjukkan fakta memalukan: 617 perguruan tinggi di Indonesia belum terakreditasi, puluhan di antaranya berada di bawah kementerian yang semestinya menjadi penjaga mutu teknis negara.

Sebagian besar tak melaporkan data ke PDDikti secara rutin. Nama mahasiswa, transkrip, hingga SK dosen banyak yang tak tercatat di database nasional. Dalam istilah Kemendikbud: “invisible on the grid.”

Dina, mahasiswa Politeknik Energi dan Mineral Akamigas di Cepu, sudah dua kali mengecek namanya di portal PDDikti. “Kosong,” katanya. “Padahal kami belajar, bayar, praktikum, bahkan ikatan dinas. Tapi ijazah kami seperti tak diakui negara.”

Politik Seragam, Bukan Politik Pendidikan

Di lapisan terdalam, masalahnya bukan sekadar administratif. Tapi politik otoritas dan kontrol.

Setiap kementerian merasa perlu memiliki “akademi sendiri”—untuk mencetak kader teknis. Tapi dalam praktiknya, banyak prodi tumpang tindih dengan kampus umum. Politeknik di bawah Kementerian Perhubungan mengajar manajemen logistik. Poltekim di bawah Kemenkumham mengajarkan hukum. STPN di bawah ATR/BPN membuka prodi pertanahan, tapi juga agraria umum.

“Kalau semua kementerian buka jurusan manajemen dan hukum, Kemendikbud mau ngatur apa?” kata seorang pejabat BAN-PT. “Semua merasa lebih dari negara.”

Anggaran Jumbo untuk Ruang Tanpa Jendela

Audit anggaran pendidikan 2024 menunjukkan bahwa PTKL menyedot 39 persen fungsi pendidikan dalam APBN, sementara mereka hanya melayani 200 ribu mahasiswa. Bandingkan dengan Kemendikbudristek yang mengelola 8 juta mahasiswa, tetapi hanya kebagian 22 persen.

Setiap kursi mahasiswa di kampus kementerian setara 13 kali lebih mahal dari kursi mahasiswa di PTN biasa. Biaya itu termasuk seragam, asrama, dan fasilitas yang sering mewah. Tapi apakah itu setara dengan mutu? Jawabannya belum tentu.

Perlawanan Diam-Diam terhadap PP 57/2022

Pemerintah sebenarnya sudah mengeluarkan PP 57 Tahun 2022: menyatukan tata kelola pendidikan tinggi nasional. Semua PTKL diwajibkan:

  1. Mengintegrasikan data ke PDDikti,

  2. Menutup prodi non-kedinasan,

  3. Menyesuaikan dengan sistem akreditasi nasional.

Tenggat waktu penyesuaian: 20 Desember 2024.

Namun hingga Juli 2025, hanya 15 kampus yang patuh penuh. Puluhan kampus menunda, bahkan sebagian terang-terangan menolak. Alasannya beragam: “karakteristik kementerian,” “otoritas sektoral,” hingga “alasan kebutuhan strategis negara”.

Siapa yang Bertanggung Jawab?

Tanpa satu otoritas tunggal, sistem pendidikan Indonesia rentan berlapis. Kampus-kampus kementerian melahirkan generasi baru ASN yang tak terhubung dengan sistem penjaminan mutu nasional. Mereka bisa lulus tanpa akreditasi, tanpa nomor induk mahasiswa nasional, dan tanpa transparansi.

Yang jadi korban: mahasiswa dan masyarakat.
Yang diam: kementerian sektoral.
Yang bingung: Kemendikbudristek.
Yang rugi: negara.

Negeri Seribu Kampus, Tanpa Satu Payung

Sore itu, saat rapat ditutup tanpa tepuk tangan, seorang anggota Komisi X menuliskan catatan di agenda:

“Single authority or single chaos?”

Di luar gedung, Dina menatap langit Cepu yang mendung. Ia tahu, belajar sungguh-sungguh saja tidak cukup. Dalam sistem yang tidak satu, bahkan kesungguhan pun bisa kehilangan pengakuan.

Ijazahnya nanti mungkin tetap bergambar lambang Garuda. Tapi apakah negara akan mengakui burung itu, jika tak terdaftar di sistemnya sendiri?