Matahari belum tinggi ketika Duma, perempuan 42 tahun dari Waigeo, memanggul jerigen kosong. Ia menuruni jalan rusak yang tiap hari dilalui truk-truk tambang nikel. Air bersih tak lagi mengalir di kampungnya. Sungai yang dulu jernih kini berubah kecoklatan. “Dulu kami mandi di sungai, sekarang tinggal lumpur,” bisiknya.
Di Jakarta, seorang tokoh agama membuka diskusi publik lewat satu frasa tajam: “Wahabi lingkungan.” Istilah ini dilemparkan oleh Ulil Abshar Abdalla—cendekiawan Muslim, pengurus PBNU, dan pemikir yang dulu pernah dielu-elukan karena sikap progresif. Kini, ia menyebut para penolak tambang sebagai kaum “keras kepala”, “antipembangunan”, dan “anti-dialog.”
Pernyataan itu memicu gelombang kritik dari para aktivis lingkungan dan masyarakat adat di berbagai daerah. Bukan karena mereka alergi kritik. Tapi karena stigmatisasi itu mengabaikan realitas ekologis yang mereka hadapi setiap hari: pencemaran air, kematian anak-anak di kolam tambang, hilangnya hutan, dan merosotnya kualitas hidup.
Apa Makna “Wahabi Lingkungan” dan Siapa yang Fanatik?
Kata “wahabi” dalam konteks keislaman sering merujuk pada gerakan puritan yang tekstual, eksklusif, dan tidak memberi ruang pada perbedaan. Ketika istilah itu disandingkan dengan aktivisme lingkungan, muncul kesan bahwa para pejuang lingkungan adalah kelompok “garis keras”—fanatik yang tak mau berkompromi.
Padahal, tak ada yang lebih fleksibel dari para warga yang tetap hidup di bawah bayang-bayang industri tambang. Mereka berdamai dengan debu, air yang tercemar, dan janji-janji kosong yang datang bersama izin eksplorasi.
Istilah “wahabi lingkungan” adalah framing politik yang keliru. Ia melemahkan legitimasi perjuangan rakyat kecil dan memperkuat narasi negara—bahwa tambang adalah satu-satunya jalan menuju pembangunan.
Aktivis Lingkungan: Penjaga Bumi, Bukan Penghambat Pembangunan
Bastian, pemuda dari Saonek, Papua Barat, berkata tegas, “Kami bukan menolak pembangunan. Kami menolak penghancuran.” Ia menyaksikan sendiri bagaimana tambang nikel membuka lubang di tengah hutan mangrove, meracuni laut yang selama ini jadi lumbung pangan komunitasnya.
Indonesia darurat tambang. Lebih dari 8.500 izin usaha pertambangan aktif tersebar di seluruh negeri, dan sebagian besar berdampak langsung pada komunitas lokal. Laporan WALHI mencatat bahwa dari 40 lebih anak yang meninggal di lubang tambang di Kalimantan Timur, tak satu pun perusahaan yang benar-benar dihukum.
Sementara itu, pemerintah malah memberikan izin tambang kepada organisasi keagamaan, termasuk NU dan Muhammadiyah. Dalihnya: “Kemandirian ekonomi.” Padahal, ini adalah bentuk konflik kepentingan yang nyata dan mengikis integritas moral keagamaan.
Aktivisme Ekologis dan Relevansi Keislaman
Banyak aktivis lingkungan datang dari latar belakang keislaman. Mereka percaya bahwa bumi adalah amanah. Bahwa menjaga hutan, air, dan udara adalah bagian dari ajaran Islam itu sendiri. Seorang santri dari Banyuwangi, saat ikut aksi menolak tambang emas Tumpang Pitu, pernah berkata: “Kalau tanah hilang, kitab kuning pun tak akan menyelamatkan kita dari lapar.”
Frasa “rahmatan lil ‘alamin” seharusnya mencakup seluruh makhluk, bukan hanya manusia. Lalu bagaimana bisa seorang ulama menyebut mereka yang menjaga air bersih sebagai fanatik, sementara yang menghisap habis isi bumi dipanggil investor?
Retorika seperti “wahabi lingkungan” bukan hanya keliru secara teologis dan sosiologis, tapi juga berbahaya. Ia bisa menjadi pembenaran simbolik untuk represi terhadap pegiat lingkungan, seperti yang terjadi di Wadas, Rempang, Kendeng, dan daerah lain.
Siapa yang Menentukan Masa Depan?
Kritik terhadap industri ekstraktif bukan hanya soal keberpihakan lingkungan. Ini adalah soal demokrasi ekologis—tentang siapa yang berhak menentukan nasib ruang hidup. Apakah masyarakat adat dan lokal, atau elite politik dan ormas yang baru saja diberi konsesi?
Duma dan ribuan orang lainnya tidak pernah duduk di rapat-rapat kebijakan. Mereka tak punya kuasa menolak keputusan Kementerian ESDM. Tapi mereka tahu, ketika tanah jadi keras dan air jadi keruh, itu bukan lagi teori, itu kenyataan.
Mereka adalah penjaga masa depan yang tidak dijanjikan apa pun kecuali penderitaan. Tapi mereka tetap bertahan. Tetap menanam. Tetap menolak. Karena yang mereka pertahankan bukan ideologi, tapi kehidupan.
Kesimpulan: Saat Agama Bersekutu dengan Tambang
Ketika agama mulai diseret dalam pusaran ekstraksi, kita harus bertanya ulang: agama untuk siapa? Untuk yang lapar karena tambang merusak ladang, atau untuk yang haus kuasa dan untung dari hilangnya gunung?
Ucapan Ulil Abshar Abdalla mungkin lahir dari ruang diskusi akademis atau politik elite, tapi gaungnya sampai ke kampung-kampung. Bukan hanya menyakitkan, tapi juga menegasikan seluruh luka yang sudah lama dirasakan warga.
Jika lingkungan dianggap sebagai ideologi keras, maka mungkin dunia sudah terbalik. Karena yang fanatik sesungguhnya bukan mereka yang melindungi hutan, melainkan mereka yang percaya tanah bisa dibeli, air bisa diganti, dan hidup bisa dibayar dengan kompensasi sesaat.