Menjelang Pemilihan Umum tahun 2024, Kominfo mencatat adanya peningkatan jumlah isu hoaks (terutama yang terkait dengan pemilu) hampir 10 kali lipat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Untuk menguatkan ketahanan masyarakat terhadap dampak negatif hoaks tersebut, Relawan Edukasi Anti Hoaks Indonesia (REDAXI) menyelenggarakan Lokakarya Guru “Berpikir Kritis untuk melawan Hoaks” pada hari Kamis, 2 November 2023 di American Corner Universitas Airlangga, Surabaya.
Acara yang didukung oleh MyAmerica Jakarta ini dihadiri oleh 13 guru SMA yang bekerja di wilayah Surabaya. Kota Surabaya merupakan kota terakhir pelaksanaan lokakarya dari total tiga kota (Bandung, Pontianak, dan Surabaya) yang disasar oleh REDAXI.
Ada beberapa pendekatan yang dilakukan untuk melawan hoaks, mulai dari strategi perusahaan media seperti Facebook untuk menandai berita palsu atau mengecilkan tautan ke berita palsu. Lalu ada juga pendekatan crowdsourcing (urun daya) untuk mengoreksi hoaks dengan hasil periksa fakta.
Namun, strategi-strategi tersebut dianggap belum cukup, karena sesungguhnya yang diperlukan adalah literasi informasi masyarakat. Salah satu komponen dari literasi informasi ini adalah kemampuan berpikir kritis untuk menilai mana informasi yang berkualitas, valid, dan mana yang tidak akurat dan menyesatkan.
Aurelius Teluma (Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Mataram dan Anggota REDAXI), selaku salah satu fasilitator lokakarya ini mengatakan bahwa, “Para guru masih menjadi agen utama penguatan daya kritis generasi muda era post-truth ini. Terdapat banyak teknik dan aplikasi pendeteksi misinformasi tetapi “perangkat” paling utama adalah pikiran kritis yang dibangun dan dilatih terus menerus bersama guru yang kritis”.
Hal ini merupakan alasan utama pemilihan guru sebagai target dari lokakarya ini. Guru diharapkan dapat mengajarkan murid-muridnya terkait pentingnya berpikir kritis, memiliki pikiran yang terbuka, dan objektif sebelum menyikapi suatu informasi secara menyeluruh.
“Tidak semua permasalahan itu bisa kita selesaikan dengan cara berpikir yang biner, yaitu memilih antara ya/tidak, setuju/tidak setuju, benar/salah, karena seringkali permasalahan tersebut memiliki wilayah abu-abu (gray area) yaitu sesuatu yang bisa ditafsirkan berbeda oleh banyak orang”, jelas Rizky Arifandi (Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya dan Anggota REDAXI), yang juga merupakan fasilitator lokakarya ini.
Di dalam lokakarya ini, para peserta diajak untuk menguji pikiran diri sendiri dan orang lain. Para fasilitator memberikan teknik-teknik untuk mengurai suatu opini berdasarkan basis fakta, basis moral, kelompok yang diwakili, dan juga bias kognitif yang dimiliki oleh tiap-tiap peserta.
Peserta tidak hanya diminta untuk menguji opininya sendiri, tetapi juga berlatih untuk membayangkan apa yang ada di pikiran orang yang pendapatnya berseberangan/bertolak belakang. Selanjutnya, peserta diajak untuk latihan membangun argumen dan berdebat dengan baik.
Topik yang diperdebatkan adalah sistem zonasi sekolah menengah. Para peserta mempraktikkan teknik berdebat yang memperhatikan substansi dan teknik delivery-nya. Hal terpenting yang dilatih adalah menyadari bahwa tujuan perdebatan adalah menggapai pemahaman yang lebih utuh dan rasional akan situasi yang ada. Bukan saling mengalahkan/menyalahkan. Untuk mencapai itu, butuh kemampuan memahami masalah dan mengemas tanggapan secara komprehensif, logis, sistematis dan pro rakyat kecil.