Di balik angka-angka yang berdiri tegak dalam laporan resmi, Indonesia tampak seperti negeri yang sedang berlari cepat. Lima persen lebih pertumbuhan ekonomi — sebuah capaian yang, bagi banyak negara, sudah cukup untuk disebut sebagai kisah sukses.
Paradoks Pertumbuhan
Tetapi jika kita keluar dari ruang konferensi dan menapakkan kaki ke lapangan, suasana yang ditemui sungguh berbeda. Di sudut-sudut kota, toko-toko kecil masih bertahan dengan napas pendek. Di desa-desa, para pemuda canggung memandang masa depan tanpa kepastian, sebab pekerjaan yang dijanjikan lewat pembangunan besar belum juga datang.
Pemerintah memang benar — ekonomi tumbuh. Konsumsi publik menggeliat, belanja negara mengalir deras, proyek-proyek besar berdiri bak monumen keyakinan. Kereta melesat dari Jakarta ke Bandung, sementara tiang-tiang Ibu Kota baru memecah kesunyian hutan Kalimantan.
Namun, pertanyaannya: tumbuh untuk siapa?
Sebagian ekonom menyebut fenomena ini sebagai “jobless growth” — pertumbuhan tanpa pekerjaan. Mesin-mesin besar, alat berat, dan kontraktor raksasa mengambil porsi paling besar dari proyek-proyek tersebut. Nilai tambahnya tercatat dalam Produk Domestik Bruto, namun lapangan kerja yang tercipta hanya secuil, seolah angka-angka itu sengaja menghindari wajah-wajah yang memerlukan pekerjaan.
Kutukan hutang
Dalam waktu yang sama, beban utang nasional terus meningkat. Dari Rp4.700 triliun pada 2019 menjadi lebih dari Rp8.300 triliun hari ini. Produk Strategis Nasional memang dicanangkan sebagai investasi jangka panjang, tetapi pada sisi fiskal, ruang belanja semakin sempit — bahkan untuk kebutuhan yang lebih dekat pada kehidupan sehari-hari, seperti pendidikan, UMKM, atau subsidi sektor pangan.
Pertumbuhan ekonomi akhirnya menyerupai pohon rindang yang batangnya kuat, tetapi akarnya tak sempat mencengkeram tanah. Ia indah dalam tampilan, tetapi rapuh saat badai kesejahteraan benar-benar diuji.
Jalan keluar
Yang dibutuhkan Indonesia sekarang mungkin bukan sekadar memperbesar PDB, tetapi mengubah komposisi pertumbuhannya.
Memberi porsi lebih besar pada sektor padat karya, membuka kanal permodalan bagi pelaku kecil, dan menata ulang prioritas belanja publik ke arah yang menghadirkan manfaat langsung bagi warga — bukan sekadar menorehkan rekor dalam lembar statistik.
Sebab kemajuan tidak hanya diukur dengan seberapa jauh kereta bisa melesat atau seberapa megah ibu kota baru dibangun, tetapi seberapa banyak warga yang bisa berjalan dengan pasti menuju masa depannya sendiri.