Bayangkan sebuah sistem ekonomi yang tak menyembah pertumbuhan semata, tapi menjadikan keadilan sosial sebagai jantungnya. Sebuah model yang tak tunduk pada pasar bebas, tapi juga tidak menyerahkan segalanya pada negara. Itulah gagasan besar yang pernah ditawarkan oleh seorang profesor ekonomi dari Yogyakarta bernama Mubyarto.

Di era ketika dunia berkiblat ke kapitalisme atau sosialisme, Mubyarto berdiri di tengah: menawarkan sesuatu yang ia sebut sebagai Ekonomi Pancasila. Bukan jalan kompromi, tapi jalan yang seharusnya otentik: tumbuh dari nilai-nilai dan sejarah Indonesia sendiri.

Mubyarto: Ekonom yang Menolak Menjadi Peniru

Mubyarto, yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi pada masa Presiden BJ Habibie, bukan sekadar akademisi. Ia seorang intelektual yang resah melihat ketimpangan terus melebar, bahkan di negeri yang mengaku “berideologi Pancasila”.

Menurutnya, pembangunan ekonomi di Indonesia terlalu elitis. PDB naik, tetapi kesenjangan tak pernah surut. Rakyat kecil terpinggirkan atas nama “pertumbuhan ekonomi”. Di sinilah ia menggugat: ekonomi seharusnya tak netral, tapi berpihak. Dan keberpihakan itu harus jelas—pada rakyat kecil, bukan pemodal besar.

Apa Itu Ekonomi Pancasila?

Dalam pemikiran Mubyarto, Ekonomi Pancasila bukan sekadar istilah politik. Ia adalah konsep sistematis yang berdiri di atas lima prinsip:

  1. Keadilan sosial sebagai orientasi utama.

  2. Peran aktif negara tanpa menindas inisiatif rakyat.

  3. Koperasi sebagai sokoguru ekonomi rakyat.

  4. Pasar sebagai alat, bukan tujuan.

  5. Nilai kekeluargaan dan gotong royong dalam praktik ekonomi.

Jika kapitalisme mengutamakan kebebasan individu, dan sosialisme mementingkan kendali negara atas produksi, maka Ekonomi Pancasila mencoba menyeimbangkan keduanya. Bukan demi ideologi, tapi demi keberlangsungan hidup rakyat.

Apakah Indonesia Pernah Menerapkannya?

Secara konstitusi, jawabannya: ya. Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa ekonomi Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Tapi dalam praktik? Sejak Orde Baru, arah pembangunan ekonomi lebih mirip kapitalisme negara: elite mengendalikan proyek, rakyat hanya jadi penonton. Bahkan ketika reformasi membuka era demokrasi, liberalisasi ekonomi justru makin dominan.

Kita melihat BUMN diprivatisasi, kebijakan fiskal condong ke investor asing, dan koperasi dibiarkan berjalan tanpa dukungan nyata. Nama Ekonomi Pancasila masih disebut di pidato-pidato resmi, tapi ruhnya telah lama tercerabut dari kebijakan ekonomi nasional.

Kapitalisme dan Sosialisme: Dua Ekstrem yang Menyisakan Luka

Kita hidup di dunia yang kelelahan oleh dua kutub ekstrem. Kapitalisme menjanjikan kemakmuran, tapi menyisakan jurang ketimpangan yang dalam. Sosialisme menjanjikan keadilan, tapi sering gagal memberi insentif dan kebebasan.

Di Indonesia, kita tak sepenuhnya kapitalis, tapi juga jauh dari sosialisme. Kita hidup dalam hibrida yang sering kali tanpa arah dan nilai.

Ekonomi Pancasila seharusnya bisa menjadi jawaban. Ia bukan sekadar kompromi, tapi sintesis yang lebih manusiawi. Sayangnya, tak banyak pemimpin hari ini yang serius menggali atau menerapkannya.

Masih Relevankah Hari Ini?

Sangat relevan. Di tengah:

  • Krisis iklim dan ancaman ketahanan pangan,

  • Ketimpangan ekonomi yang makin menukik,

  • Maraknya monopoli oleh korporasi global,

  • Kecemasan atas dominasi teknologi terhadap kerja manusia,

…kita butuh model ekonomi yang adil sekaligus kontekstual. Ekonomi Pancasila bisa menghidupkan kembali koperasi berbasis digital, menguatkan ekonomi komunitas, dan memberi ruang bagi pertumbuhan yang tak mengorbankan keberlanjutan.

Tapi itu semua hanya mungkin jika ada kehendak politik dan keberanian moral untuk meletakkan rakyat sebagai pusat, bukan sekadar objek pembangunan.

Mengapa Kita Harus Ingat Mubyarto?

Mubyarto pernah berkata, “Ekonomi kita harus membumi, bukan mengawang-awang. Harus berpihak pada mereka yang hidup dari tanah, laut, dan pasar tradisional, bukan hanya dari saham dan ekspor komoditas.”

Hari ini, ketika ekonomi makin menyerupai arena kompetisi brutal, warisan pemikirannya terasa seperti cahaya yang hampir padam—tapi tetap menyala.

Pertanyaannya kini bukan sekadar: apakah ekonomi Pancasila mungkin?
Tapi: maukah kita sungguh-sungguh memperjuangkannya?