Relawan Edukasi Antihoaks Indonesia (REDAXI) menggelar lokakarya guru bertajuk ”Berpikir Kritis untuk Melawan Hoaks”. Kegiatan ini dilakukan di tiga kota, yaitu Bandung, Pontianak, dan Surabaya.
Acara hasil kolaborasi REDAXI dan MyAmerica Jakarta ini digelar dengan peserta guru SMA. Acara dimulai di Bandung pada 24 Oktober 2023 di American Corner ITB, Bandung. Acara di Kota Kembang ini dihadiri oleh 16 guru SMA yang bekerja di wilayah Kota/Kabupaten Bandung.
Guru SMA dipilih menjadi target dari edukasi ini karena mereka berinteraksi erat dengan para siswa yang merupakan calon pemilih pemula pada tahun 2024 mendatang. Di samping itu, guru harus menjadi teladan bagi anak-anak didiknya dengan menunjukkan perilaku berpikir kritis dalam mengonsumsi informasi.
Harapannya para guru dapat membimbing anak didiknya untuk menjadi pribadi yang berpikir terbuka, melihat sesuatu secara objektif, selalu mencari bukti kebenaran informasi, dan mampu membangun argumen yang rasional.
Lokakarya guru ini terdiri dari empat sesi materi. Sesi pertama dengan materi “Kekacauan Informasi: Tantangan & Solusi” disampaikan oleh Rut Rismanta Silalahi, fasilitator dan Co-founder REDAXI.
“Kita tidak dapat membiarkan begitu saja hoaks beredar di tengah-tengah kita. Berbahaya! Penyebaran hoaks dapat menimbulkan kepanikan massa dan hilangnya kepercayaan terhadap pemerintah dan media kredibel”, jelas Rut.
Ia pun menambahkan bahwa mengurangi/membatasi penyebaran hoaks, khususnya di media sosial merupakan tantangan yang amat besar. Kecenderungan kita untuk mempercayai mentah-mentah apa yang kita baca di internet dan kegagalan kita untuk memverifikasinya adalah salah satu penyebab hoaks semakin merajalela.
Untuk mengidentifikasi tantangan-tantangan yang ada, Rut mengajak para peserta untuk menuliskan tantangan yang mereka temui/amati ketika melawan hoaks di keluarga, pekerjaan dan masyarakat.
Beberapa jawaban mereka antara lain, perbedaan tingkat literasi, latar belakang masyarakat yang terlalu beragam, perbedaan cara komunikasi antar generasi, ada isu kepercayaan, keengganan membaca data, dan perbedaan kondisi psikologis dari masing-masing orang.
Selanjutnya, sesi kedua tentang Berpikir Kritis diisi oleh Bernika Y. Narang, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia. Bernika menyampaikan bahwa proses berpikir kritis dapat terhambat oleh adanya bias-bias kognitif. ”Ada confirmation bias, false dichotomy, in-group and affinity bias, overconfidence, halo effect, dan masih banyak lagi bias kognitif yang kita miliki. Kita perlu menyadari adanya bias-bias ini ketika mengonsumsi informasi agar tidak terjebak hoaks”
Sesi ketiga dan keempat berisikan tentang cara mejadi pemikir kritis dengan menguji pikiran sendiri dan juga pikiran orang lain. Kedua sesi ini difasilitasi secara bergantian oleh Rut dan Bernika. Para peserta diberikan latihan contoh-contoh kasus yang perlu mereka tanggapi dan perdebatkan.
Kasus yang diberikan adalah tentang layanan kesehatan publik gratis dan zonasi sekolah. Para peserta belajar bahwa perbedaan opini bisa jadi berangkat dari landasan fakta yang sama, namun dengan interpretasi yang berbeda, sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Kemampuan berpikir kritis juga mencakup kemampuan untuk memahami bahwa berbeda itu tidak apa-apa, dan bahkan mengubah opini juga merupakan hal yang lumrah. Tujuan berpikir kritis bukanlah menentukan siapa yang paling benar dan siapa yang paling salah, tetapi argumen mana yang paling relevan dan dekat dengan kebenaran.