Kapitalisme Tak Mampu Berjalan di Atas Pondasi yang Runtuh
Jakarta — Dalam salah satu forum ekonomi dunia paling bergengsi, St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025, Presiden Prabowo Subianto menyatakan satu hal yang mengguncang kesadaran ekonomi nasional:
“Tiga dekade Indonesia mengikuti kapitalisme pasar bebas, dan hasilnya belum menggembirakan.”
Pertumbuhan ekonomi memang terjadi. Stabil di kisaran 5% selama tujuh tahun terakhir. Namun kemiskinan masih membeku di kantong-kantong desa. Upah tak mampu mengejar harga kebutuhan dasar. Jurang antara 1% elite dan mayoritas rakyat justru melebar. Apa yang salah?
Kapitalisme dan Sosialisme di Mata Presiden
Prabowo menyentil dua kutub ekstrem: kapitalisme total dan sosialisme utopis. Yang satu menciptakan inovasi tapi membiarkan ketimpangan, yang lain menjanjikan keadilan tapi sering mematikan inisiatif.
Solusi yang ia tawarkan adalah jalan tengah—menggabungkan semangat kewirausahaan kapitalis dengan keberpihakan sosial negara. Dalam istilah Indonesia: ekonomi Pancasila.
Tapi ada satu pertanyaan yang muncul dari publik:
Jika Prabowo mengkritik sistem pasar bebas dan efek “trickle-down” yang tak pernah sampai ke bawah, mengapa justru kebijakan ekonominya sendiri—seperti hilirisasi tambang, Proyek Strategis Nasional (PSN), dan alokasi dividen BUMN—masih mengalir ke konglomerat yang itu-itu juga?
“Itu redistribusi kekayaan negara—misalnya dari dividen BUMN—dialirkan ke PSN. Lalu soal hilirisasi, siapa yang dapat? Prayogo Pangestu.”
“Apa Prayogo seorang Robin Hood yang akan mengalirkan kekayaan itu secara merata? Agak lucu, menyindir trickle-down, tapi praktik kebijakannya ya sama saja.”
Sistem Ekonomi Bukan Sekadar Nama
Kritik terhadap kapitalisme tidak cukup jika yang dikritik hanya istilahnya—sementara struktur distribusi kekuasaan ekonomi tak berubah. Bahkan sosialisme pun, tanpa hukum yang tegas terhadap korupsi dan nepotisme, akan hancur pelan-pelan dari dalam.
“Kapitalisme total akan gagal kalau kolusi dan nepotisme dibiarkan tumbuh liar, tanpa peran negara membangun sistem pasar yang sehat berdasarkan filosofi dasarnya—yakni penegakan hukum atas korupsi.”
“Dan sosialisme juga akan gagal kalau hukum tidak tegak.”
Contoh paling kentara datang dari Cina. Negara itu bukan kapitalis murni, bukan pula sosialis penuh. Tapi ketika Deng Xiaoping menghukum tegas “Geng Empat” yang dipimpin oleh istri Mao Zedong, penegakan hukum menjadi pondasi lahirnya ekonomi hibrida yang efektif. Hukum ditegakkan sebelum pertumbuhan dimulai.
Jalan Tengah yang Ragu-ragu?
Indonesia mengklaim menerapkan ekonomi Pancasila—yang memberi ruang bagi koperasi, mengedepankan keadilan sosial, dan menghindari ekstremisme sistem. Tapi dalam praktik, jalan tengah itu tampak ragu-ragu.
- Koperasi dan BUMDes direduksi jadi pelengkap kebijakan
- Redistribusi hanya terjadi di jalur atas: dari negara ke swasta besar, dari APBN ke konglomerat
- Konflik kepentingan dianggap biasa, bahkan dinormalkan dalam aturan
Seorang pengamat menyindir tajam:
“Omon-omon saja bicara kompromi, kalau yang dikompromikan adalah budaya nepotis, yang makin abai terhadap konflik kepentingan.”
Ke Mana Seharusnya Arah Ekonomi Indonesia?
- Bangun sistem hukum yang tidak tebang pilih
Bukan hanya pencuri ayam, tapi juga pencuri APBN dan pebisnis rente. - Reformasi struktural, bukan kosmetik fiskal
Distribusi ekonomi ke rakyat melalui koperasi, bukan hanya CSR. - Tolak kapitalisme kroni yang dibungkus nasionalisme
Jangan biarkan jargon kedaulatan menutupi praktik eksklusif elite. - Tegaskan ekonomi Pancasila sebagai model, bukan mitos
Bukan sekadar frasa pidato, tapi sistem yang dijalankan dengan keberpihakan nyata.
Penutup: Sistem Tanpa Etika Akan Gagal
Tak ada sistem ekonomi yang bisa berjalan di atas fondasi yang lapuk. Kapitalisme tanpa hukum adalah perjudian. Sosialisme tanpa etika adalah utopia palsu. Dan ekonomi Pancasila hanya akan jadi dongeng, kalau aparatnya kompromistis dan pemimpinnya masih takut menyentuh akar oligarki.
Jalan tengah bukan sekadar menambal dua ekstrem.
Tapi membangun ulang arah dengan keberanian—memotong yang busuk, memupuk yang hidup, dan memastikan bahwa kekayaan negeri ini bukan hanya untuk mereka yang dekat dengan kekuasaan.